Oleh :
Mawardi Siradj
Pelaksana pada subbag Inmas Kanwil Kemenag Prov. Sulsel
Program Mengaji atau mengasah jati diri Indonesia berbentuk forum dialog dengan tokoh agama atau tokoh masyarakat. Forum ini dibentuk untuk membicarakan berbagai hal yang berkembang di masyarakat. Terutama yang terkait dengan keindonesiaan di tengah kompleksitas kehidupan yang semakin kompetitif. “Ujung atau implementasi program ini harus mengarah pada moderasi agama dan relasi antara agama dan keindonesiaan,”
Mengaji adalah belajar. Belajar sama halnya mengisi kebodohan dengan pengetahuan. Akan tetapi mengaji disini lebih dalam dan lebih luas maknanya dari sekedar belajar atau membaca kitab suci, didalamnya dibutuhkan sejumlah kemampuan khusus yang dijadikan alat untuk menyempurnakan makna belajar itu.
Dalam beberapa cuplikan pada pengajian, ada berberapa hal sederhana yang sebenarnya kita semua telah tahu dan mengerti, hanya saja belum memaknai sebagai prilaku dikehidupan nyata. Seperti ungkapan orang-orang di status facebook, “kehidupan ini tidak semudah kata-kata Mario teguh” dalam arti lain juga bermakna bahwa hidup selalu berbeda antara teori dan praktis. Sebelum itu maka timbul sebuah pertanyaan kecil dari seorang penulis pemula ini. Apakah benar demikian kehidupan ini? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita mengaji kembali…
Memulai dengan menjawab pertanyaan “Bagaimana makna Indonesia yang selama ini kita sama-sama akui itu, dengan realitas yang terjadi belakangan ini bahkan dari puluhan tahun lalu? Jawabannya bahwa ketika berbicara indonesia kita berpegang dengan sebuah ungkapan sakti dan singkat dari Kiyai saat mengaji dulu, bahwa “Indonesia adalah rumah kita, titik” artinya kalua ada orang yang merusak rumahnya sendiri, maka orang itu tidak waras (gila). Namun bagaimana jika orang “gila” itu semakin banyak dan tumbuh kembang dirumah kita (Indonesia)? Haruskah kita perlakukan orang gila itu layaknya orang gila dengan mengikat, memasung atau mengurungnya? Atau jangan jangan dimata mereka sebenarnya kitalah orang gila itu.
Menjadi sangat membingungkan untuk memahami ungkapan sederhana tersebut bila dibenturkan dikehidupan nyata. Di saat yang sama muncul kemudian sebuah premis bahwa segala urusan akan menjadi berbelit-belit dan sulit diatasi saat kepentingan menguasai isi kepala. Akhir hal yang terdekat pada rakyatpun menjadi sasaran persolan, seperti agama, ekonomi dan lain hal lainnya. Akan tetapi Kesenjangan sosial tidak pernah dipicu oleh agama, karena yang menjadi persoalan adalah pendidikan kita masih terlalu mengedepan akal bukan hati, selalu bergelit dengan materi bukan praktek. Sehingga Agama kadang hanya jadi alat atau justifikasi dari kesenjangan sosial yang ada, yang ujung ujung nya malah menimbulkan konflik.
konflik agama terjadi karena manusia penganutnya tidak mengaji, yang dalam hal ini bukan hanya membaca kitab suci, namun juga belajar memahami dan mengamalkannya."Beragama dengan semangat tanpa “Mengaji” itu yang jadi masalah. Mengaji, merupakan proses belajar yang tak memiliki kata sudah, yang diperlukan manusia beragama dalam menjalankan ajaran-ajaran agama.
Kita semua sangat menyayangkan beberapa peristiwa terjadinya perseteruan-perseteruan yang mengatasnamakan agama akhir-akhir ini, olehnya itu, kita mengingatkan bahwa sebenarnya agama dan negara adalah hal yang tidak dapat dipisahkan di Indonesia. "Kiai-kiai dan Para Ulama yang ikut dalam percaturan berdirinya Bangsa Ini saat berbicara agama dan Indonesia hanya dengan satu kali nafas. Artinya, keduanya memiliki posisi penting yang tak boleh dilupakan begitu saja
Pada pendidikan tidak cukup dengan apa saja yang kita lihat dan dengarkan namun, ada hal yang lebih penting dan menyempurnakan dua sebelumnya yakni apa yan kita rasakan. Sampai kepada sebuah kesimpulan digaris besar diantara garis lainnya, kemajuan Indonesia terletak pada akhlak dan budi pekerti.
program ini merupakan kegiatan utama Kemenag dalam rangka mempromosikan Islam yang damai dan moderat serta mengkampanyekan kesatuan bangsa, menjaga komitmen kebangsaan dengan cara memperkuat Indonesia yang rukun dan damai dengan mengangkat tema ‘Kita Indonesia, kita berbudaya’.
“Sekarang terjadi pergeseran di budaya kita, yang menghilangkan ciri khas bangsa Indonesia. Untuk itu perlu kajian mendalam, mengubah mindset dan paradigma masyarakat agar kembali dengan nilai keindonesiaan kita seperti dulu. Masyarakat yang bersahaja, berbudaya dan kaya etika ketimuran. Maka kegiatan ini bertujuan untuk mewujudkan itu, kembali kepada masa-masa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah dan tidak mudah terprovokasi, berorientasi pada kebersamaan dan persatuan dan menyampingkan perbedaan. Diharapkan kegiatan ini sebagai wadah dalam berbagi wawasan dan gagasan kebangsaan agar kembali bisa menyemai nilai-nilai keindonesiaan kita. Tidak ada lagi kotak-kotak dan kepentingan kelompok. olehnya itu, Ayo "Mengaji". (wrd)