Dipersiapkan Sebagai Mediator Handal, Penghulu Dibekali Teori Konflik

Makassar, HUMAS SULSEL – Fenomena meningkatnya angka perceraian di Indonesia akhir-akhir ini menjadi tantangan tersendiri bagi Penghulu. Betapa tidak, di pundak Penghulu saat ini ada tusi tambahan yang cukup berat, yaitu menjadi garda terdepan dalam meminimalisir potensi konflik sebagai penyebab disharmoni rumah tangga yang acap kali berujung perceraian.

Dirjen Bimas Islam Prof. Kamaruddin Amin pernah mengatakan bahwa untuk menekan angka perceraian di Indonesia adalah melalui program penguatan ketahanan keluarga serta dengan meningkatkan kompetensi penghulu.

Peran penghulu selain menikahkan juga tempat masyarakat melakukan konsultasi serta menjadi mediator menyelesaikan konflik dalam rumah tangga. Tugas dan fungsi (Tusi) ini tidak terlepas dari tugas dan fungsi KUA sebagaimana termuat dalam Permenpan no 9 tahun 2019 pasal 5 bahwa tugas penghulu adalah melakukan layanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan dan bimbingan masyarakat islam.


 

Melalui kegiatan bertajuk Peningkatan Kapasitas Penghulu Ahli Madya Dalam Fungsi Mediasi Perkawinan dan Keluarga yang dihelat di Hotel Gammara Makassar (5-9/6/2023), Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah dengan menggandeng Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Pusat menghadirkan beberapa narasumber kawakan untuk membekali dan mempersiapkan 50 peserta yang berasal dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat untuk menjadi mediator dan negosiator handal dalam menengahi kekisruhan rumah tangga yang akhir-akhir ini marak terjadi.

Pada hari ketiga pelaksanaan kegiatan ini, Rabu (7/6) narasumber dari BP4 Pusat Dr. H. Anwar Saadi, MA diberi kesempatan untuk memaparkan materi Pelatihan Calon Mediator dengan judul Analisis Konflik.

Menurut Anwar Saadi, konflik itu diyakini dan dipahami terjadi disebabkan oleh kebutuhan, kepentingan, keinginan, atau nilai-nilai dari seseorang yang berbeda atau tidak sama dengan orang lain.

“Konflik sebagai reaksi emosional terhadap situasi atau interaksi yang memperlihatkan ketidaksesuaian atau ketidakcocokan. Reaksi emosional ini diwujudkan dengan rasa takut, sedih, pahit, marah, dan keputusasaan atau campuran perasaan-perasaan tersebut,” tutur Anwar Saadi menambahkan.

Sekretaris Umum BP4 periode 2019 – 2024 ini lantas menukil sebuah defenisi teori konflik. Dia mengatakan, Teori Konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.

Anwar Saadi yang pernah menjabat sebagai Kepala KUA di beberapa Kecamatan di Jakarta ini lebih lanjut menerangkan tentang tujuan analisis konflik, yaitu untuk Memetakan serta menganalisis berbagai sisi dari konflik yang sedang dihadapi, Memperoleh gambaran penyebab terjadinya konflik serta untuk Merancang pendekatan yang paling efektif untuk penyelesaiannya.


 

Dengan berlandaskan analisis konflik ini, Anwar Saadi berharap Penghulu dapat menjadi mediator yang baik dan handal dengan berusaha menciptakan pemuasan terhadap kepentingan prosedural dan psikis disamping berusaha memenuhi kepentingan substansi para pihak yang berselisih.

Mantan Kepala Subdirektorat Mutu, Sarana, Prasarana, dan Sistem Informasi KUA Direktorat Bina Kantor Urusan Agama dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama ini kemudian membeberkan beberapa faktor yang menjadi sumber timbulnya permasalahan dalam  hubungan, yaitu Emosi yang kuat, Mispersepsi atau stereotype, Komunikasi yang buruk/keliru serta Perilaku negatif yang diulang.

Kepada para peserta kegiatan ini, Anwar Saadi yang pernah terpilih sebagai Kepala KUA Teladan Tingkat Nasional tahun 2008 menguraikan pendekatan yang digunakan dalam memediasi suatu konflik, yang ia sebut pendekatan segitiga kepuasan. Pada pendekatan ini, Anwar menekankan bebera poin yang mesti diperhatikan oleh seorang mediator, yakni Fokuskan persoalan pada kepentingan (interest) dan bukan pada posisi (positions), Temukan kriteria yang obyektif untuk mengukur atau menentukan sesuatu, Kembangkan penyelesaian yang terpadu yang memenuhi/mengakomodasi kebutuhan dari para pihak, Temukan cara-cara yang dapat mengembangkan pilihan-pilihan dari sumber daya yang ada, serta Kembangkan sistem penukaran (trade off) untuk memenuhi kebutuhan para pihak

Diakhir materinya sebelum membuka sesi diskusi, pria yang menyelesaikan studi S3-nya di Institut PTIQ Jakarta ini mengulas tentang pengertian Stereotipe, yaitu penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan.

“Stereotipe merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat,’ imbuhnya.

Dalam psikologi sosial, kata Anwar Saadi, stereotipe adalah setiap pemikiran yang diadopsi secara luas tentang tipe individu tertentu atau cara berperilaku tertentu yang dimaksudkan untuk mewakili seluruh kelompok individu atau perilaku tersebut secara keseluruhan.



Usai pemaparan materi yang dilanjutkan dengan sesi diskusi yang berlangsung alot dan berbobot hingga jelang waktu salat magrib, Anwar Saadi melontarkan closing statement bahwa keberhasilan seorang mediator adalah mampu membantu para pihak  mengelola dan mengurai sebuah konflik dan mengarahkannya kepada  kesepakatan perdamaian.

Pada kesempatan ini, Anwar Saadi membagikan buku dengan judul Mediasi Konflik Dalam Perkawinan Perspektif Al-Qur’an, Implementasi dan Pengaruhnya Dalam Mengurangi Angka Perceraian. Buku setebal 330  halaman tulisannya ini dibagikan secara Cuma-Cuma kepada 10 orang peserta. (AB)


Wilayah LAINNYA