Mengenai Islam Washatiyah, Ini Penjelasan Menteri Agama RI

Illustrasi Foto (Kemenag RI Provinsi Sulawesi Selatan)

Makassar (Inmas Sulsel) Dirjen Bimas Islam Kemenag RI menggelar Dialog Nasional Keagamaan dan Kebangsaan dimana Menag RI Lukman Hakim Saifuddin didapuk sebagai keynote speech yang mengusung tema “Mengarusutamakan Islam Wasathiyah, Menyikapi Bahaya Hoax dan Fitnah Bagi Kehidupan Keagamaan dan Kebangsaan”, ini akan berlangsung selama tiga hari, sejak tanggal 20 sampai 22 Februari mendatang di Hotel Claro Makassar. Peserta Dialog ini diikuti oleh 300 orang peserta, dari unsur pejabat teknis Kemenag, Urais, Kankemenag se-Sulawesi, Penyuluh agama, dosen, mahasiswa, tokoh agama, dan unsur media.

Selaku pembicara kunci, sekaligus membuka acara, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan rasa syukur karena pada malam hari ini bisa hadir dalam rangka pembukaan Dialog Nasional Keagamaan dan Kebangsaan yang diinisiasi oleh Ditjen Bimas Islam. Bagi Menag Lukman, tema isu yang diangkat pun terus aktual dalam kehidupan, sebab kehidupan ini mengalami percepatan luar biasa, karenanya tentu kita semua khususnya umat Islam, haruslah yang paling terpanggil mensikapi ini dengan penuh kearifan.

“Terimakasih dan apresiasi kepada Ditjen Bimas Islam dengan dukungan Ormas Islam dalam mensukseskan acara malam ini,” kata Menag Lukman.

Membicarakan relasi antara kebangsaan dan keagamaan, kata Menag Lukman lebih spesifiks lagi keislaman dalam konteks Indonesia, seperti halnya kita melihat sekeping uang logam yang memiliki dua sisi.

“Agama Islam dengan kebangsaan adalah dua hal yang berbeda seperti dua sisi mata uang, namun keduanya tidak bisa dipisahkan. Islam sebagai ajaran yang kita yakini kebenarannya, memerlukan wadah, tempat dimana nilai-nilai itu bisa diaktualiasikan, agar mewujud dalam kehidupan keseharian, itulah negara bangsa ini,” papar Menag.

Rasa syukur, lanjut Menag, bahwa kita menjadi bagian yang oleh dunia dikenal sebagai bangsa yang religius. Dimana banyak studi yang bermuara sama, bahwa Indonesia dinilai oleh dunia yang memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai Agama dalam kehidupannya begitu tinggi.

“Apapun etnis kita, bangsa kita, diwilayah manapun kita tinggal, tidak ada satupun suku bangsa yang tidak menjunjung tinggi nilai Agama. Dan itu sudah berlangsung sejak ratusan tahun berlalu jauh sebelum bangsa ini berdiri,” kata Menag.

Dijelaskan Menag, tingkat keberagaman bangsa ini sudah Allah takdirkan sebagai bangsa yang agamis. Selain kebangsaan, ditengah kemajemukan, keragaman, selain nilai kebangsaan, nilai agama berfungsi sebagai yang merajut, merangkai berbagai keanekaragaman sebagai bangsa.

“Kalau kita melihat konstitusi kita, misalnya, sangat sarat, penuh dengan nilai-nilai agama. Tidak hanya kosakata agama, tapi juga terma, diksi secara langsung atau tidak langsung terkait dengan Agama,” tambah Menag.

Bahkan, lanjut Menag Lukman, pada pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, secara ekplisit menegaskan kemerdekaan yang kita raih atas berkat rahmat Allah Swt. Dengan penuh kerendahatian kemerdekaan bukan hanya karena jasa para pahlawan, namun menyatakan kemerdekaan atas rahmat Allah Swt.

Lalu, konstitusi kita sebagai sumber, rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Betapa religiusitasnya negara kita, bahkan menjadi jiwa, ruh kehidupan berbangsa dan berneraga. Pada pasal 9, sumpah Presiden-Wakil Presiden, dan seluruh pejabat negara, semua mengawali masa jabatannya dengan bersumpah, dan eksplisit sumpahnya itu menyebut nama Allah.

“Jarang kita menemui negara didunia ini, yang penyelenggaraan negaranya mengawali dengan sumpah atas nama Tuhan. Begitu arifnya para pendahulu, menempatkan Agama yang tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Menag.

Selain itu, lingkup peradilan dinegara lain, hanya ada peradilan umum dan militer, sementara di Indonesia lingkup peradilan menjadi empat; peradilan semu, peradilan tatanegara, peradilan militer dan peradilan agama.

Lagi-lagi agama oleh institusi dijamin keberadaannya oleh negara. Bahkan, termasuk menyelesaikan persoalan, sengketa antar warga bangsa, diselesaikan secara hukum. Terkait Hak Azasi Manusia (HAM), menempatkan agama yang bisa dijadikan pertimbangan, dan pembatasan seseorang dalam HAM, dengan mempertimbangakn empat hal; moral, keamanan, ketertiban umum, dan pertimbangan agama.

“Lagi-lagi agama dijadikan oleh institusi sebagai pertimbangan, dalam mengatur kehidupan dalam kepentingan konteks ditengah kemajemukan. Agama dalam konteks kebangsaan kita di Indonesia, memiliki posisi yang sangat kuat. Kemudian kita menderivasi keragaman itu dalam undang-undang,” kata Menag.

“Pemerintahan harus menjiwai nilai-nilai agama, tidak boleh tercerabut dalam kehidupan. Agama juga mempunyai kontrol oleh negara, karena agama bisa terjerumus pada prilakunya yang eksesif. Karena merasa paling besar, paling benar, hingga melakukan hal-hal yang tidak semestinya. Disinilah negara berperan sebagai pengontrol, agar agama selalu pada koridornya yang moderat,” tambah Menag.

Disampaikan Menag Lukman, sejak empat tahun terkahir, Kementerian Agama terus mempromosikan Moderasi Beragama, agar kecenderungan kita dan sebagian saudara kita, boleh jadi karena keterbatasan wacana, lalu cara kita memahami agama, mengamalkan agama, boleh jadi, boleh bisa pada pengamalan yang berlebih-lebihan, ekstrem, dan tatorruf. Maka Moderasi Beragama sebagai sebuah impian yang tidak berkesudahan.

Selain Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, gelaran Dialog Nasional ini juga menghadirkan sejumlah tokoh seperti Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin, Tokoh Masyarakat Sulawesi Selatan AGH Sanusi Baco, Rektor UIN Alauddin Makassar, sejumlah pejabat, dan tokoh Agama, dan penggiat serta praktisi media di Sulawesi selatan (wrd)


Wilayah LAINNYA