Mangkoso, (Humas Barru) --- Pimpinan Pondok Pesantren DDI Mangkoso, Anregurutta H.M. Faried Wadjedy mengungkapkan keprihatinannya terhadap mulai lunturnya budaya luhur di tengah-tengah masyarakat, termasuk penggunaan bahasa daerah Bugis di lingkungan keluarga.Â
Ulama kharismatik yang juga menjabat Ketua Baznas Kabupaten Barru itu lantas menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Negeri Belanda.
“Waktu kuliah di Mesir, saya sempat ke Belanda. Di situ saya bertemu dua orang professor dari Makassar yang sedang meneliti Bahasa Bugis. Professor Syaharuddin Kaseng meneliti Bahasa Bugis Soppeng dan Professor Zainal Abidin meneliti Bahasa Bugis Wajo. Pertanyaannya, mengapa meneliti Bahasa Bugis jauh-jauh ke negeri Belanda?. Itu karena orang Belanda sangat menghargai budaya kita dan naskah-naskah kuno Lontara Bugis tersimpan dengan baik di Museum Leiden. Bahkan, Professor Andi Zainal mengaku bahwa justru di Belanda ia menemukan Lontaraq Sukkuqna Tana Wajo . Mereka waktu menjajah kita sudah menyadari betapa bernilainya naskah-naskah tersebut sehingga diambil dan dibawa ke negaranyaâ€paparnya.
Hal tersebut diceritakan Anregurutta saat mengawali ceramahnya dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan oleh Kerukunan Santri Asal Kabupaten Barru (KESAN AKRAB) Pondok Pesantren DDI Mangkoso di Aula Kampus 1 Mangkoso, Kamis 25 November 2021.
 Saat itu, MC yang memandu acara menggunakan dua Bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Bugis.
Acara yang dirangkaikan dengan silaturahmi alumni DDI Mangkoso asal Kab. Barru turut dihadiri Bupati Barru yang diwakili oleh Kabag Kesra, Dr. H. Irham Jalil, Kepala Kantor Kemenag Kab. Barru, Dr. H. Jamaruddin, Ketua Ikatan Alumni DDI Mangkoso (IADI) Kab. Barru, Dr. H. Husain Abdullah, Kasi PD Pontren Kemenag Barru, Dra. Mujenniati, Kepala KUA Soppeng Riaja, Baharuddin, S.Ag., Kepala Kampus dan Kepala Madrasah, sejumlah pembina pesantren, alumni asal Kab. Barru, dan sekitar lima ratus santri-santri DDI Mangkoso yang berasal dari Kabupaten Barru.
Selanjutnya, Anregurutta mengaku sangat terkesan saat berkunjung ke Malaysia untuk menghadiri Konferensi Internasional Zakat. “Waktu masyarakat keturunan Bugis mengetahui kedatangan saya, mereka mengundang saya untuk berceramah maulid di Madrasah Arabiyah Al-Bugisiyah Johor. Saat itulah saya sangat terkesan karena mulai dari MC, laporan panitia, sambutan, semuanya menggunakan Bahasa Bugis dengan fasih. Sementara kita di sini, di negeri Bugis tapi umumnya yang berpidato semuanya menggunakan Bahasa Indonesia.
 Semestinya hal ini menjadi keprihatinan kita. Karena itu, saya mengajak kepada kita semua untuk membiasakan anak-anak kita berbahasa Bugis dalam lingkungan keluarga. Kalau tidak, kelak Bahasa Bugis akan punah karena generasi setelah kita tidak faham dan tidak bisa lagi berbahasa Bugis,"kata Anregurutta. (ARS/Top)