Parepare, (Humas Parepare) – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Parepare menggelar Dialog Publik Tematik yang dilaksanakan secara hybrid (daring dan luring) dengan menghadirkan 2 pemateri yang ahli di bidangnya yakni Saiful Jihad selaku Anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan dan Mardiana Rusli yang merupakan Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JADI) Sulawesi selatan.
Kegiatan tersebut berlangsung sehari pada Sabtu, (2/7/2022) dan dihadiri oleh beberapa elemen masyarakat dan organisasi kepemudaan diantaranya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Parepare, Putri Muhammadiyah, HMI, PMII dan organisasi kepemudaan lainnya.
Kegiatan ini juga dihadiri oleh unsur pendidik dan salah satunya adalah Guru MTs DDI Labukkang, Rosnanang.
Salah satu tema yang menjadi topik pembahasan pada dialog publik ini yaitu tentang pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang bukan pelanggaran pemilu, contohnya yaitu pelanggaran kode etik atau netralitas ASN.
Pelanggaran kode etik atau netralitas ASN diproses di Bawaslu kab/kota sesuai dengan ketentuan perundang-undangan kemudian produk hukum yang ditimbulkan diteruskan ke instansi atau pihak yang berwenang salah satunya yaitu Komisi Aparatur Sipil Negera (KASN), bahkan jika terbukti melakukan pelanggaran pidana pemilu akan dikenakan sanksi pidana pemilu sesuai pasal 494 UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum.
Berkaitan dengan semakin dekatnya tahapan pemilihan umum, sesuai Pasal 238, UU No 7 tahun 2017 maka seluruh pejabat negara, pejabat struktural, pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara (ASN) lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu, selama dan sesudah masa kampanye. Larangan yang dimaksud meliputi ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarganya dan masyarakat.
Ketua Bawaslu Kota Parepare, Zainal Aznun menjelaskan ada 3 faktor penyebab pelanggaran netralitas ASN. Adapun ketiga faktor penyebab pelanggaran netralitas ASN yakni: pertama, ketidaktahuan atau minim informasi ASN bahwa sikap dan tindakannya sudah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran netralitas; kedua, adanya intimidasi atau tekanan kepada ASN untuk mendukung kandidat tertentu; dan ketiga, secara sadar memberikan dukungan kepada rekan, keluarga dan atau atasannya dengan harapan mendapatkan promosi jabatan. “Fenomena ketidaktahuan marak terjadi dengan perilaku media sosial termasuk ASN,”jelasnya.
Melalui kesempatan tersebut, dia juga mengingatkan sejumlah pelanggaran terkait netralitas PNS pada pilkada beberapa tahun lalu. “Di Bawaslu Kota Parepare ada beberapa pelanggaran netralitas ASN pada pilkada 2018 yakni terdapat temuan dugaan pelanggaran netralitas ASN sebanyak 40 oleh pengawas pemilu, dan laporan masyarakat sebanyak 2 sedangkan pada pemilu 2019 terdapat 4 temuan dugaan pelanggaran netralitas ASN oleh pengawas pemilu,”jelasnya.
Selanjutnya sebagai informasi, Netralitas ASN juga diatur oleh Undang-Undang nomor 5 Tahun 2014 pasal 9 ayat (2) bahwa pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Jika ditemukan adanya Aparatur Sipil Negara yang melanggar perundang-undangan tersebut, Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 pasal 87 ayat (4) menyatakan PNS diberhentikan dengan tidak hormat, karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Sebagai salah seorang peserta secara luring, Rosnanang ikut berkomentar di dalam dialog ini dengan mengajak ASN Kemenag mengedepankan netralitas.
“Berhubung tidak lama lagi kita memasuki tahapan pemilu, saya mengajak seluruh teman-teman ASN khususnya di madrasah untuk tetap mengedepankan netralitas ASN dan tidak memihak, dan kita semua berharap agar asas netralitas selalu dikedepankan, dengan begitu kita bisa terhindar dari intervensi-intervensi politik yang bisa terjadi,”pungkasnya.(Nanang/Wn)