Watampone, (Humas Bone)- Meski tercatat sebagai agama mayoritas di Indonesia, namun angka buta aksara Al-Quran masi sangat memprihatinkan. Berangkat dari hal tersebut, pemerintah mulai gencar melaksanakan program Pemberantasan Buta Aksara Al-Quran. Khususnya Kementerian Agama, melalui Penyuluh Agama Islam untuk membumikan dan memberikan berbagai pembinaan agar masyarakat lebih mengenal Al-Quran.
Hal tersebut yang menjadi topik pembahasan Penyuluh Agama Islam Non PNS (PAIN PNS) Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tanete Riattang Harsulia dalam Dialog Keagamaan bersama Radio Republik Indonesia (RRI) Kabupaten Bone.
Suasana talk show berlangsung hangat, dipandu oleh Sri Ulfah dengan tema “Pemberantasan Buta Aksara Al-Quran”. Sebagaimana diketahui, tujuan bimbingan penyuluhan pemberantasan buta aksara yaitu untuk mengidentifikasi jumlah buta aksara Al-Quran pada masyarakat, mengetahui faktor-faktor penyebabnya dan menentukan metode yang tepat digunakan untuk memberantas buta aksara Al-Quran pada masyarakat.
Harsulia selaku narasumber sedikit bercerita tentang suka duka menjadi Penyuluh Agama Spesialis Pemberantasan Buta Aksara “Salah satu yang menjadi pemicu utama kurangnya minat belajar membaca Al-Quran utamanya di kalangan anak-anak yaitu gadget. Ketika anak mulai ketergantungan game atau aplikasi lainnya, perhatiannya pun mulai sulit dialihkan.
Terlebih jika orang tua juga kurang mengawasi dan memberikan dorongan kepada anaknya untuk belajar,” ungkapnya. Lebih lanjut ia menerangkan, pemetaan kelompok belajar Al-Quran terdiri dari tidak bisa sama sekali baca Al-Quran, ada pula yang lancar baca Al-Quran tetapi masi terbata-bata, ada yang lancar tetapi tidak sesuai dengan kaidah tajwid. Adapun metode yang digunakan yaitu metode baghdadi, metode al barqi, metode iqra’, metode qiraati, metode manhaji, metode ummy dan metode terbaru yaitu metode tasbih.
“Salah satu fenomena di masyarakat lebih mengutamakan kursus belajar bahasa asing dibanding belajar membaca Al-Quran. Karena ada stigma yang beredar bahwa kursus bahasa asing lebih mendukung di dunia kerja kelak. Namun beberapa tahun terakhir stigma itu sudah tidak berlaku. Buktinya, dengan dibukanya beberapa lembaga ataupun Rumah Tahfiz, masyarakat begitu antusias untuk mendaftarkan anak atau pun keluarga mereka. Bahkan ada beberapa sekolah menjadikan Tahfiz sebagai mata pelajaran, bukan lagi ekstrakulikuler. Ada juga beberapa pekerjaan yang menawarkan jalur khusus bagi para penghafal Al-Quran. Dan ini merupakan bukti bahwa dengan belajar Al-Quran kita bisa mendapatkan dunia maupun akhiratnya,” tandasnya lagi. (Anty/Ahdi)