oleh :
Mawardi Siradj
PNS Pada Kanwil Kemenag Prov. Sulsel
Ketika ditanya apa yang pertama kali terlintas di pikiran anda kala mendengar kata “Pegawai Negeri Sipil (PNS)”, mungkin mayoritas jawabannya adalah: malas, kerja santai, korupsi. Amat disayangkan, karena begitu banyak image negatif yang melekat pada status PNS. Hal tersebut terjadi bukan dalam sekejap, melainkan telah melalui proses sejarah panjang selama berpuluh-puluh tahun.
Kita tentu tidak bisa menyalahkan justifikasi masyarakat terhadap citra PNS. Semua terjadi dilandasi hukum sebab-akibat. Ada asap pasti ada api. Harus diakui, tradisi “sesat” PNS pernah berlaku pada rezim pemerintahan sebelum-sebelumnya. Suatu masa dimana sorotan media belum cukup tajam menembus “tirai besi” belenggu tirani. Berbeda dengan sekarang, bagaimana media mampu menjalankan fungsi kritisi terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai melenceng. Kendati demikian, kondisi tersebut tidak serta-merta meniadakan praktik curang oknum abdi negara.
Di sisi lain, upaya generalisir citra negatif terhadap semua PNS tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, di luar sana juga ada abdi negara yang benar-benar mendedikasikan dirinya bagi bangsa ini dibawah naungan integritas. Poin itu haram untuk diabaikan begitu saja.
Kenyataan pahit akibat “tradisi” yang dilakukan bertahun-tahun harus ditanggung oleh PNS generasi masa kini. Selain rasa bangga, ternyata ada sekelumit beban dibalik seragam coklat yang dikenakan PNS muda. Baru terjun ke dunia birokrasi, mereka sudah dihadapkan oleh stigma kurang mengenakkan dari masyarakat.
Pengalaman nyata pernah saya alami. Pada suatu kesempatan, saya bereuni dengan kawan-kawan SMA dalam sebuah Acara. Karena lama tidak bersua, kami saling menanyakan kabar dan pekerjaan yang kini tengah digeluti. Saat tiba giliran saya mengatakan bahwa saya sebagai PNS, tiba-tiba terdengar celetukan yang hingga kini masih membekas jelas di memori: “PNS? Wah enak ya, kerja santai,gaji lancar, uang pensiun dapat” ujar salah satu teman saya.
Detik itu pula, pertentangan dalam batin langsung menyeruak. Saya berpikir: “Santai??? Dimana santainya?”. Sebagai salah seorang PNS muda yang mengawali karir pada 2009, saya sama sekali tidak merasakan santai yang dimaksud kawan saya tadi. Bahkan, di tempat saya bekerja, yang terasa adalah penumpukan beban kerja. Hal itu disebabkan ketidakseimbangan jumlah pegawai yang pensiun dengan penerimaan calon PNS baru. Setiap tahun, rata-rata PNS yang memasuki masa purnatugas mencapai ribuan, sementara jalur penerimaan CPNS paling banter hanya ratusan. Belum lagi, pemerintah pusat tercatat beberapa kali melakukan moratorium penerimaan CPNS.
Buruknya penilaian publik terhadap PNS menyisakan sekelumit tanda tanya. Kira-kira apa yang menjadi penyebab jenis mata pencaharian tersebut tak kunjung mentas dari jurang stigma negatif. Terkait problem tersebut, saya mencoba memetakan sejumlah penyebabnya. Diantaranya sebagai berikut:
1.PNS kurang memiliki jaminan kesejahteraan
2.Kualitas Pelayanan/Etos Kerja Kalah Dibanding Sektor Swasta
3.Konsekuensi Sanksi Terlalu Ringan, Sementara Target Individu Minim
Terlepas dari itu semua, tentu harapan kita adalah negeri ini mempunyai Aparatur-birokrat yang berintegritas dan berkualitas. Maklum, integritas menjadi sesuatu yang mahal pada zaman sekarang ini. Oleh karenanya, PNS harus “menyalip di tikungan” dengan mengedepankan integritas dalam setiap pekerjaannya. Bermodal integritas, saya optimis kualitas PNS di Indonesia akan lebih baik. Tanda-tanda itu sudah terlihat dengan mulai bermunculannya PNS dan kepala daerah yang berprestasi. Peran kepala daerah diharapkan bisa mengubah wajah birokrasi.
Salah satu instrument yang tidak boleh diabaikan dalam menjaring PNS yang berkualitas adalah, system recruitment yang transparan (kalau saat ini melalui system CAT dengan segala perangkatnya), karena salah satu penyebab stigma negative sering disematkan ke PNS kita akibat system recruitment yang sarat dengan prilaku KKN. Meskipun kemudian system rekruitmen PNS secanggih apapun yang diterapkan, belum menjamin juga outputnya bisa menampilkan berprilaku berkulitas tadi, tapi minimal usaha menuju kearah sana sudah mulai dilakukan, sisanya kemudian dibutuhkan regulasi ketat dalam mengatur beban kerja seorang PNS. Di sisi lain, masyarakat dan media juga berperan mengawasi perilaku Aparatur dan birokrat kita. Semoga PNS Indonesia menjadi semakin baik lagi (wrd)