Makassar (Humas Sulsel) Wakil Menteri Agama RI, Zainut Tauhid Sa’adi, dalam Release yang disampaikan pada acara Webinar Ramadhan bersama Ikatan Alumni Fakultas Adab & Humaniora (IKAFAH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu, 16 Mei 2020, yang dihadiri oleh A.M Fachir (Mantan Wakil Menteri Luar Negeri), Saiful Umam (Dekan Fakultas Adab & Humaniora UIN Jakarta), Tb Ace Hasan Syadzily (Komisi VIII DPR RI), Bambang Prihadi (Sutradara Teater), dengan moderator oleh Makyun Subuki (Pakar Humaniora), yang dihadiri oleh Pengurus IKAFAH UIN Jakarta, dan partisipan lain sebanyak 100 peserta. serta disiarkan melalui youtube IKAFAH UIN Jakarta menyampaikan pandangannya terkait Situasi era Pandemi Covid-19 saat ini yang melanda Negara kita.
Pandemi Covid-19 telah jelas nampaknya bagi
kehidupan manusia. Nilai-nilai Agama termasuk yang peroleh ujian besar dari
Pandemi ini. Terlebih Agama Islam, di mana kini kita memasuki bulan Ramadhan.
Namun Agama seharusnya bisa tetap relevan dalam menghadapi segala tantangan dan
ujian. Terutama bila dihadapkan dengan nilai-nilai yang mengancam kemanusiaan
seperti Covid-19 ini.
Ribuan teks agama, sejarah, dan juga kesusastraan
yang diwariskan para ulama Islam membuat saya meyakini bahwa Islam di masa kini
pun dapat memberikan solusi dan sumbangan pemikiran untuk mengatasi pandemik
COVID-19 beserta seluruh dampaknya. Karena Islam hadir sebagai rahmat bagi
semesta (rahmatan lil ‘alamin). Islam dan universalitas fikih Islam dapat
memberikan kemaslahatan termasuk solusi untuk menangani pandemi COVID-19 ini.
Para ulama di hampir semua negara, terutama yang
berpenduduk muslim, melakukan kajian ulang (I’adatu an-nadhar) terhadap
pandangan keagamaannya agar relevan dengan kondisi pandemi yang ada. Karena
pada dasarnya ajaran agama Islam diturunkan oleh Allah tidak untuk menyulitkan
kehidupan. Misalnya, dalam menjalankanÂ
ibadah ada yang bisa dilakukan dengan tata cara normal (‘azimah), yaitu
ketika dilakukan di situasi normal. Namun dalam kondisi tidak normal berupa masyaqqah
ataupun dharurah syar’iyyah, pelaksanaan ibadah bisa dilakukan
penyesuaian-penyesuaian. Masyaqqah ataupun dharurah syar’iyyah merupakan alasan
adanya keringanan (rukhshah) dalam menjalankan ajaran agama. Sehingga hukum
Islam mempunyai fleksibilitas dalam pelaksanaannya (murunatu al-fiqh al-islami)
sesuai kondisi yang ada.
Fleksibilitas hukum Islam itu yang menjadi ruh
fatwa para ulama di masa pandemi Covid-19 ini, dan pada dasarnya hal itu
sejalan dengan tujuan utama diturunkannya syariah (maqashid as-syariah).
Kondisi pandemi yang terjadi saat ini menjadikan hifdzu an-nafsi (menjaga keselamatan jiwa)
menjadi pertimbangan paling utama dalam penetapan fatwa dibanding hifdzu
ad-din, hifdzu al-mal, hifdzu al-‘aql, dan hifdzu an-nasl. Karena menjaga keselamatan
jiwa belum ada alternatif penggantinya. Sedangkan hifdzu ad-din menjadi urutan
berikutnya, karena ada alternatif penerapanÂ
keringanan (rukhshah). Inilah landasan dasar dari adanya fiqih pandemi,
sebagai panduan umat Islam dalam melaksanakan ibadah di tengah pandemi ini.
Dalam konteks kebijakan pemerintah, Surat Edaran
Menteri Agama No. 6 tahun 2020 tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1
Syawal di Tengah Pandemi Covid-19. Juga merupakan ikhtiar untuk memberikan
panduan beribadah pada masyarakat yang semangatnya tidak keluar dari Fiqih
pandemi yang dikeluarkan oleh Fatwa-fatwa dari ormas-ormas Islam, termasuk
Fatwa MUI yang terkait.
Namun memahami fatwa memang sebaiknya secara utuh.
Kasus adanya sebagian umat yang melanggar Fatwa disebabkan adanya gairah ibadah
yang tinggi namun tidak diiringi dengan pemahaman literasi keagamaan yang
memadai. Atau beragama secara emosional dengan kurang memperhatikan kebutuhan
untuk menjaga keselamatan baik diri sendiri maupun keselamatan orang lain, sebagaimana
kaidah fiqih disebutkan, la dharara wa la dhirar. Kita tidak boleh membuat diri
kita celaka, ataupun mencelakakan orang lain. Prinsip atau kaidah tersebut yang
semestinya kita terapkan dalam beribadah.
Covid-19 ini memang belum berakhir. Tapi saya yakin
segala sesuatu pasti ada akhirnya. Selama Covid-19 ini masih mewabah,
sesungguhnya kita dapat banyak mengambil pelajaran. Terutama berkaitan dengan relasi antar
manusia, dan nilai-nilai kemanusiaan, akibat pembatasan aktifitas dan penerapan
jaga jarak.
Selain itu, kita mesti bersiap-siap melanjutkan
peradaban pasca covid-19 ini, atau yang kini banyak disebut sebagai new normal.
Beberapa ahli menyatakan bahwa virus ini mungkin tidak dalam waktu dekat dapat
ditemukan vaksinnya. Sehingga hanya ada dua pilihan bagi kita yaitu pertama,
menghindar dari virus agar tidak tertular, atau yang kedua yakni berdamai
dengan virus. Jika pilihan kita menghindar maka kita perlu terus melakukan
isolasi diri namun jika pilihan kita berdamai, maka mesti ada syarat dan
kondisi atau protokol yang sama-sama kita sepakati dan patuhi.
Ke depan memang akan semakin banyak tantangan
kemanusiaan pasca covid-19 ini. Ada kaidah yang dapat kita jadikan landasan,
yaitu “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang
lebih baik†(al muhafadzah ala al qodim al-shaleh wa al akhdzu bi al jadid al
ashlah). Saya kira kaidah ini dapat menjadi bagian penting dalam kehidupan
keagamaan kita menghadapi Covid-19 dan pasca Covid-19 ini. Kita tidak boleh
menyerah. Kita mesti tetap berikthitar, bersabar, dan tawakal.
Demikian. Terima kasih. Wallahul Muwaffiq Ila
Aqwamith Thariq
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
(Rilis Humas Kemenag RI/wrd)