Oleh : Fikar Muasbin , S.I.P. (Pustakawan MTsN Lutra)
Perkembangan teknologi tidak hanya mengubah cara bertindak manusia dalam kehidupan sehari- hari, namun disisi lain juga memberi gambaran dari terbentuknya pola pikir baru masyarakat dalam merepresentasikan sumber penyajian informasi yang diterima. Dalam hal ini masyarakat memiliki proses adaptasi yang berbeda dalam menggunakan teknologi sebagai media informasi yang kemudian disebut sebagai masyarakat digital native dan digital immigrant.
Digital native adalah kelompok masyarakat yang tumbuh di lingkungan dengan kehadiran teknologi digital, seperti komputer, internet, ponsel pintar, dan media sosial, selalu menjadi bagian dari kehidupan mereka. Mereka biasanya telah mahir dalam mengoperasikan berbagai perangkat teknologi digital maupun sistem penyajian informasi secara digital. Sedangkan digital immigrant adalah masyarakat yang tidak tumbuh dengan teknologi digital namun harus beradaptasi dengannya di kemudian hari. Istilah ini sering diterapkan pada generasi tua ataupun generasi pra 80an.
Fakta ini tidak jarang menghadirkan kesenjangan teknologi antara golongan masyarakat digital native dengan digital immigrant tanpa terkecuali dalam menerima sumber informasi. Adanya gap antara masyarakat digital native dengan digital immigrant nyatanya telah merambah ke dalam fenomena yang melahirkan sebuah perbedaan dalam memandang sebuah informasi yang diperoleh dari berbagai platform berbasis teknologi informasi. Sebagai contoh, masyarakat yang lahir sebagai digital immigrant, kurang begitu memahami keabsahan sebuah informasi dengan secara langsung memberikan justifikasi salah atau benar yang berseliweran di internet, media sosial maupun portal digital lainnya. Bahkan tak jarang, sebagian masyarakat tidak canggung meneruskan informasi tanpa memfilter kebenarannya. Belum lagi jika informasi yang beredar mengenai hal- hal sensitif seperti politik, agama, ataupun suku.
Dalam kejadian lain, mungkin kita semua selalu mendengar kasus penipuan dengan modus undian hadiah, undangan digital dimana rata- rata korbannya sebagian besar merupakan masyarakat digital immigrant. Berbeda dengan masyarakat digital native yang memiliki kecenderungan untuk mengulik lebih dalam setiap informasi yang diterimanya melalui internet dan media sosial. Meskipun dalam hemat penulis, hal ini tidak serta merta bersifat general baik bagi masyarakat digital immigrant dan digital native.
Sedikit berkaca ke beberapa tahun belakangan dimana isu- isu politik dan agama menjadi hal yang paling sering kali di framing oleh okunm- oknum yang tidak bertanggung jawab. Dengan adanya celah seperti itu, maka potensi potensi radikalisme akan semakin bergentayangan dengan menjadikan masyarakat digital immigrant sebagai sasaran empuk .
Sebagai masyarakat beragama dan warga negara yang baik, perlunya meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi digital di tengah disrupsi teknologi. Selain upaya menghindari informasi hoax juga sebagai upaya menghilangkan kesenjangan antara masyarakat digital native dengan digital immigrant.