Moderasi Beragama : Role Mode Relasi Agama dan Negara Berbasis Kearifan Lokal

Budiarti A. Rahman
(Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar)


“Mattuppu ri ade'e, mappasanre ri sarae” 
(Sendikan pada adat, dan sandarkan pada agama)

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan relasi agama dengan negara berbasis kearifan lokal sebagaimana telah dipraktikkan pada masa kerajaan di jazirah Sulawesi bagian selatan. Jauh sebelum kita merdeka (NKRI), yaitu pada abad ke-17 M silam. Kalimat “Mattuppu ri ade'e, mappasanre ri sarae” (Sendikan pada adat, dan sandarkan pada agama) adalah tema dalam rangkaian Hari Jadi Bone ke-694 yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 06 April 2024 oleh masyarakat dan pemerintah Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan. 

Dalam kajian siyasah syar’iyyah (hukum tata negara) kalimat “Mattuppu ri ade'e, mappasanre ri sarae” merupakan asas penyelenggaraan negara untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat dan negara. Baik berkaitan dengan kesejahteraan di dunia ini maupun berkaitan dengan kemaslahatan kehidupan akhirat kelak (Syâthibî, 1973). Asas tersebut merupakan asas dalam menyelenggarakan kekuasaan negara pada masa kerajaan Bone sebagai wujud kristalisasi perenungan mendalam para leluhur untuk mengintegrasikan peran agama (Syariat Islam) pada norma dasar negara, atau yang disebut dengan konstitusi Panggaderreng.

Integrasi saraq (syariat Islam) dengan Konstitusi Pangngaderreng merupakan konkretisasi atas relasi agama dengan negara. Diskursus ini selalu menjadi perbincangan akademik dari waktu ke waktu seiring perubahan paradigma penyelenggaraan kekuasaan suatu negara. Asas bernegara “Mattuppu ri ade'e, Mappasanre ri sarae ini tidak hadir pada ruang hampa dan ilusi. Namun dipraktikkan dalam penyelenggaraan negara (kerajaan) Bone ketika itu. Pertanyaannya, kapan dimulainya? Tentu setelah masuknya agama Islam dan membentuk pola secara kultural pada masyarakat ketika itu berkat perjuangan para ulama yang mendakwahkan agama Islam di Jazirah Sulawesi bagian selatan. (Budiarti, 2020).

Jika melihat referensi lontara sebagai memori penyelenggaraan kekuasaan kerajaan-kerajaan Bugis terutama kerajaan Bone, maka dapat ditegaskan bahwa adaptasi dalam bentuk integrasi adat dan syariat Islam terjadi pada masa  pemerintahan Puatta Latenri Tatta  Malampe’e  Gemme’na (Arung Palakka) Raja Bone ke-15 (1667-1696). 

Suatu pemerintahan dalam menyelenggarakan kekuasaannya dengan berdasarkan suatu norma dasar (grundnorm) maka pada dasarnya adalah bentuk negara yang menganut dan mempraktekkan prinsip-prinsip negara hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka Kerajaan Bone pada masa silam dapat disebut sebagai tipologi negara yang menganut paham konstitusionalisme dengan mendasarkan kekuasaan kerajaan disebut dengan konstitusi Pangngaderreng. 

Konstitusi Pangnggaderreng telah diletakkan sebagai norma dasar sejak abad ke-16 pada masa kekuasaan atau raja La Tenri Rawe Bongkangnge (1559-1584). Raja Bone ke-7 tersebut didampingi oleh seorang cendekia ulung, yaitu La Mellong Kajao Laliddo. Pangngaderreng merupakan hasil perenungan mendalam penasehat kerajaan Bone (La Mellong). Selain sebagai penasehat La Mellong banyak mengambil peran pelaksanaan kekuasaan kerajaan ketika itu karena menjadi kepercaaan dari Raja Bone. Unsur pangngaderreng pada mulanya hanya terdiri dari empat pilar utama, yaitu pertama, adeq (norma adat istiadat); kedua, wariq (protokoler kerajaan); ketiga, bicara (sistem hukum); keempat, rapang (pengambilan keputusan berdasarkan yurisprudensi). Unsur kelima, yaitu Saraq (Syariat Islam) menjadi penyempurna dalam menata kehidupan bangsa  Bugis di Kerajaan Bone (Ali, 1986).  

Penulis berargumentasi bahwa masuknya unsur saraq (syariat Islam) ke norma dasar pangngadereng terjadi pada masa kekuasaan La Tenri Tatta Puatta Malampe’e gemme’na Arung Palakka (w. 6 April 1669 M)  pada saat mengeluarkan maklumat kerajaan pada tahun 1672 M. Maklumat kerajaan Bone tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

“….Iyanae ada riapallebbangnge ri baruga tellu coppo’na ri Bone, mappalesso’ gemme’na (1672) gemme’ malampe’e. iya riassuro pallebbangiakko palili simemengngennae Bone…

1. Mau’ silellang muwa  bola nalimpungi awo, napobicarai bicaranna, naiya, nabbicarang nasengnge palorongngi welarenna, paddaungngi raukkajunna, naporajangngi Bone napoadecengengngi Palili’na napoatuwongengngi tomaegae. Topada letei naupetautta melempu’ togi majekko togi. Tapada poanui akkeanung toriolota de’eppa bicara lawangnggi. Naiyana taola gau’na Puatta Matinroe ri Gucinna (La Tenri Rawe Bongkangge Raja Bone ke-7) sanggadina riakaperekenna.

(Inilah pengumuman pada “Baruga Tellu Coppo’na” di Bone, diwaktu pemotongan rambut La Tenri Tatta Puatta Malampe’e gemme’na (1672). Diumumkan kepada para pimpinan daerah dalam kerajaan Bone.)
Walau hanya sebuah keluarga/rumah yang dipagari dengan bambu, tetap diakui haknya untuk melaksanakan hukum adat yang dapat memelihara hubungan baik dan membesarkan Kerajaan Bone demi kebaikan rakyat, tetap berpegang teguh kepada peraturan “Pangngaderreng” yang telah ditetapkan oleh Puatta La Tenri Rawe Bongkangnge Matinroe ri Gucinna Raja Bone ke-7 (1559-1584) kecuali kekufurannya. (waktu itu, Raja Bone belum memeluk agama Islam).

​​​​​​​2. Iyatopa mennang ripoadakko, mau silellang muwa bola nalimpungi awo, pada patettokko langkara’ tapeasseriwi agamae. 

Selanjutnya, diumumkan bahwa walaupun hanya sebuah keluarga/rumah yang dipagari bambu, agar didirikan langgar (masjid) guna mengukuhkan pelaksanaan Syariat Agama Islam.

3. Iya topa mennang riappallebbariakko palili’ simemengngennae Bone, rekko engkai suro ribatennae Bone muttama’ ri wanuwammu marala, aja’ mulawai. Iyanatu napoarajang Bone, Narekko tessinrupai ade’, ripattenningagekko arolano risurona Bone mulettu’ puadai ri Bonemu, tennalai tu Bonemu nako tennapasilasi…

Selanjutnya diumumkan, apabila ada suruhan utusan pribadi Raja Bone memasuki daerah untuk mengambil seseorang/sesuatu, jangan sekali-kali dihalangi. Itulah salah satu tanda kebesaran Raja Bone. Apabila tindakan mereka bertentangan dengan adat yang berlaku (abuse of power), ikutilah mereka untuk menghadap kepada Raja Bone. Raja Bone tidak akan mengambil sesuatu dari kalian apabila tidak sesuai dengan hukum yang berlaku berdasarkan adat/pangngaderreng” (Ali, 1986).

Berdasarkan informasi dari maklumat Raja Bone ke-15, Arung Palakka. Berkuasa dari tahun 1672-1696 maka dapat di dipahami sebagai berikut:

a.    penyelenggaraan suatu kekuasaan negara haruslah berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum dengan menegakkan supremasi hukum agar para penguasa tidak melakukan tindakan kesewenang-wenangan;
b.    Sejak dahulu kerajaan Bone memberikan proteksi dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Jauh sebelum dideklarasikannya DUHAM PBB pada tahun 1948. Bahkan lebih awal dari revolusi Perancis pada tahun 1789 sebagai fase awal penghargaan terhadap kemanusiaan di Barat. Revolusi Prancis menghasilkan beberapa slogan yang populer hingga saat ini yakni liberty (kebebasan), egality (persamaan), dan fraternity (persaudaraan);
c.    Agama (Syariat Islam) terintegrasi dengan prinsip konstitusionalisme dalam suatu norma dasar penyelenggaraan kekuasaan yang disebut dengan Pangngaderreng. Pangngaderreng sebagai norma dasar negara   (Staatfundamentaltumnorm).  Sejak abad ke-16 secara teguh dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam konteks zaman itu.
d.    Bagi pengkaji politik Islam, Siyasah Syar’iyyah (hukum tata negara), atau aktivis pergerakan formalisasi agama, hendaknya menjadikan kerajaan-kerajaan Bugis yang telah ada di jazirah Sulawesi bagian Selatan sebagai role mode atas  relasi agama dengan negara. Hal mana adaptasi doktrin universal Syariat Islam dengan pranata hukum lokal yang telah berjalan dengan tidak menafikan atau menguburkan tradisi, adat istiadat,  kearifan lokal sebagai warisan leluhur dari generasi ke generasi berikutnya. Inilah disebut dengan “Mattuppu ri ade’e Mappasanre ri Sara’e”.

Demikian perjumpaan Syariat Islam dengan Konstitusi Pangnggaderreng. Integrasi tersebut menjadi suatu doktrin universal yang dibangun menurut kristalisasi pondasi siriq na pesse  (harkat martabat manusia) pada kebudayaan masyarakat Bugis untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat maupun dalam bernegara. (Budiarti A. Rahman)

REFERENSI
Ali, A. M. (1986). Bone Selayang Pandang. Watampone: Damai.
Budiarti, B. (2020). Tudang Adeq dan Internalisasi Syariat Islam Masyarakat Bugis Bone di Sulawesi Selatan. Al-’Adl, 13(1), 41–54.
Syâthibî, A. I. al. (1973). al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syariah, Jilid II. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, t. Th.


Opini LAINNYA

Ketentuan  Keimigrasian  bagi Penyuluh Asing

Ayo Bertoleransi !!!

Aries, ASN Muda Kaya Karya

Memetik Makna Haji 

Judi Online, Hiburan Pembawa Petaka