Oleh : Irwan Muhammad Idrus
(Ketua Prodi Manajemen FEB UMPAR)
Saya akan memulai tulisan ini dengan sebuah kisah menarik dalam buku The road to Allah. Suatu hari, Allah SWT berfirman kepada Nabi Musa a.s. “ Hai Musa, jika nanti kau akan bertemu dengan-Ku lagi, bawalah seseorang yang menurutmu kamu lebih baik dari dia. Singkat cerita Nabi Musa lalu pergi berkeliling, ke mana-mana, ke jalanan, pasar dan tempat-tempat ibadah. Namun Ia selalu menemukan dalam diri setiap orang itu satu kelebihan dari dirinya. Mungkin dalam beberapa hal lain, orang itu lebih jelek daripada Nabi Musa, tetapi pada saat yang bersamaan Nabi Musa selalu menemukan ada hal yang lebih baik pada diri orang itu daripada dirinya.
Nabi Musa tidak mendapatkan seorang pun yang terhadapnya Nabi Musa dapat berkata, “Aku lebih baik daripada dia.” Karena gagal menemukan orang itu, Nabi Musa masuk ke tengah-tengah kawanan binatang. Dalam diri binatang pun ternyata selalu ada hal-hal yang lebih baik daripada dirinya. Akhirnya Nabi Musa melewati seekor anjing yang kudisan. Nabi Musa berfikir untuk membawanya. Namun Ketika sampai di suatu tempat, Nabi Musa melepaskan anjing itu.
Ketika Nabi Musa datang untuk bermunajat lagi di hadapan Allah SWT, Tuhan bertanya, “Wahai Musa, mana makhluk yang Aku perintahkan kepadamu untuk kau bawa. ”Nabi Musa menjawab “Tuhanku, aku tidak menemukan seorang pun yang aku lebih baik daripadanya. ”Tuhan lalu berfirman, “ Demi keagungan dan kebesaran-Ku, seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa seseorang yang kamu pikir kamu lebih baik dari dia, Aku akan hapuskan namamu dari daftar kenabian.
Salah satu alasan kenapa Iblis dikeluarkan dari surga adalah karena iblis berkata “ana khairun minhu” (aku lebih baik daripada dia) yaitu ketika Allah SWT memerintahkan untuk sujud kepada Adam as. Simak Al Qur’an, Allah berfirman yang artinya: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab “Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”.
Dia (Allah) berfirman “ Turunlah kami darinya (surga) karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk makhluk yang hina. (QS.Al A’raf:12-13)
Ketika seseorang menunaikan ibadah haji maka salah satu prosesi yang dilakukan adalah melepas “pakaian” yang melambangkan prestise diganti dengan pakaian ihram, yakni dua lembar kain putih tak berjahit, sehingga siapapun dia, semua sama di hadapan Allah SWT. Sejatinya merenungi hakikat haji dapat meruntuhkan sifat takabur, kesombongan, kebanggaan diri. Itulah sebabnya orang yang telah menunaikan ibadah haji mestinya memiliki sifat tawadu, rendah hati. Namun tidak sedikit orang yang pulang dari haji, justru sebaliknya.
Ali Syariati dalam bukunya “makna haji”, menjelaskan bahwa sebelum berangkat haji, kita harus ‘menggugat’ dulu niat, perangkat dan perilaku jiwa kita. Sudah benarkah niat kita? Halalkah uang yang kita gunakan untuk membiayai keberangkatan kita? Jiwa mana yang kita bawa? Jiwa yang hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan di hadapan Tuhan, ataukah jiwa yang hendak ‘memperalat’ Tuhan demi status baru sebagai manusia yang dihormati dan sanjungan? Ataukah sekedar memperpanjang gelar yang kita sandang? Selami hakikat haji untuk kemudian kita biarkan keagungannya bersemayam dalam jiwa kita, dan memancarkan jauh ke dalam relung kehidupan sebagaimana ‘Singa Padang Tauhid’ Nabi Ibrahim a.s.