Oleh
Muhammad Afrizal
(Kasi Bimas Islam Kemenag Kab. Takalar)
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Agama telah mengumumkan secara resmi pembatalan pemberangkatan Jamaah Haji Tahun 1441 H, Sebuah keputusan yang tidak populis harus diambil disaat hampir seluruh belahan bumi sedang dilanda pandemi Covid-19, bak gayung bersambut, berselang beberapa hari kemudian Pemerintah Arab Saudi pun secara resmi mengumumkan bahwa pelaksanaan Ibadah Haji untuk Tahun Haji 1441 H dilaksanakn secara terbatas hanya untuk Warga Negara Arab Saudi dan Ekspatriat dengan penerapan protokol Kesehatan yang ketat.
Penantian panjang dalam deretan Waiting List selama kurang lebih antara 8 sampai 10 Tahun masa pendaftaran untuk pemberangkatan Tahun ini harus menunggu satu Tahun lagi untuk mewujudkan cita-cita suci mengunjungi Baitullah dalam menyempurnakan rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan Ibadah Haji bagi yang mampu. Tentu juga mempengaruhi keseluruhan masa tunggu Haji dikisaran 30-40 Tahun untuk provinsi Sulsel.
Tentu keputusan ini terasa sangat berat dan berimplikasi secara fsikologis terhadap Jamaah Calon Haji. Kesedihan sudah pasti menghinggapi semua hati, disaat semua Jamaah Calon Haji tengah mempersiapkan fisik dan mental untuk menjalani pelaksanaan dan rangkaian Ibadah Haji mereka harus mengalami kenyataan dengan keputusan batalnya pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1441 H.
Melihat kondisi Jamaah Haji Indonesia dimana hampir 90% adalah Jamaah kategori Risti (Risiko Tinggi) dalam hal Kesehatan, maka hal ini pasti menjadi kegelisahan tersendiri, kekhawatiran-kekhawatiran mulai bermunculan menanti Tahun Haji 1442 H yang akan datang, namun dari semua kegelisahan, kekhawatiran dan kecemasan kita semua harus memasrahkan diri pada sebuah ketundukan primordial akan takdir Ilahi.
Menggali lautan hikmah pada sebuah ketentuan takdir adalah jalan terbaik sebagai bentuk keikhlasan dalam menanamkan sikap sabar menapaki penantian haji, manusia hanya bisa merencanakan tetapi Allah jualah yang Maha Kuasa atas segala ketetapannya sehingga ketika Manusia diperhadapkan pada suatu ketetapan Ilahi maka sebagai hamba, manusia harus menggiring pemahamannya kepada perspektif Al- Qur’an Surah Al- Baqarah ayat 216 :
وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ
Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Demikianlah realitas pelaksanaan Ibadah Haji untuk Tahun Haji 1441 H kali ini, akhirnya kita semua larut dalam kepasrahan spiritualitas bahwa di langit kita menaruh harapan dan Do’a, sementara di bumi kita mendawamkan ikhtiar karna perspektif langit adalah daya magis supranatural yang menginspirasi sebuah pencapaian duniawi.
“Hajilah sebelum engkau berangkat menunaikan Ibadah Haji” merupakan semboyan dan Falsafah hidup ketimuran yang sarat makna, secara filosofis pesan diatas menyiratkan pemahaman bahwa yang pertama, Haji adalah sikap dan perilaku, dan yang kedua, bahwa Haji adalah ritual ibadah dengan ketentuan waktu dan tempat pelaksanaan serta memenuhi syarat dan rukunnya. Oleh karna itu batalnya pelaksanaan Ibadah pada Tahun Haji 1441 H bukanlah akhir dari segalanya, terbuka ruang yang lebar dan waktu yang panjang untuk memantaskan diri kita menyandang predikat haji Mabrur.
Seiring berjalannya waktu, Spiritualitas Jamaah kembali tergugah sebagai efek dari pembatalan Ibadah untuk Tahun Haji 1441 H saat pelaksanaan wukuf di Padang Arafah berlangsung, berbagai suguhan gambar dan video live dari makkah Al- Mukarramah beredar di dunia maya mempertontonkan suasana khidmat dan khusyu’ mengiringi pelaksanaan Ibadah Haji Tahun ini, haru dengan mata berkaca-kaca membayangkan kita adalah salah satu dari mereka yang sedang berdiam diri (Wukuf) sambil bermunajah dan memohon ampunan, namun takdir berkata lain, toh Tahun ini kita hanya diperkenankan untuk melaksanakan Puasa Arafah, maka untuk merefleksikan fenomena ini dapatlah kita berasumsi bahwa ketika jumlah orang yang melaksanakan wukuf berkurang, maka seharusnya jumlah orang yang berpuasa Arafah bertambah banyak.
Masih dalam rangkaian Ibadah Haji, sehari berselang setelah wukuf, tiba waktunya umat Islam diseantero Dunia mengetengahkan kisah monumental yang dilakonkan dengan Shalat dan berkurban
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
Nukilan kisah dari Qashasul Anbiya dalam Al- Qur’an, kisah ini diekspresikan dalam ritual Ibadah Haji dengan Melontar Jamrah, kisah agung yang diperankan oleh keluarga Nabiyullah Ibrahim AS kekasih Allah SWT (Khalilullah) bersama Ismail AS sang anak semata wayangnya yang dikemas apik dalam skenario Ilahi telah mengajarkan sebuah bentuk totalitas mutlak dalam ketundukan terhadap perintah dan kepasrahan yang berbuah manis (Happy Ending), maka sebelum ritual Lontar Jamrah kita jalani, lautan hikmah yang harus diarungi selanjutnya adalah mengokohkan ketauhidan selama menjalani masa penantian Tahun Haji 1442 H yang akan datang seraya berharap dengan sikap istiqamah dalam Tauhid tersebut akan memudahkan langkah menuju Baitullah.
Secara gamblang Al- Quran menjanjikan sebuah jaminan kebahagiaan atas Sikap ke-Istiqamah-an dalam Tauhid, hal ini merupakan komitmen qurani yang didapati dalam surah Fusshilat ayat 30 :
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”
Secara dialogis Al- Qur’an ingin berkata kepada kita bahwa teguhkan Tauhidmu, maka Allah akan mengutus para Malaikat untuk menghilangkan rasa takut dan kesedihan sekaligus menyampaikan kabar gembira tentang kebahagiaan (Surga) yang telah dijanjikan. Hal ini merupakan komitmen Qur’ani atas segala rasa takut, kawatir dan sedih selama mereka masih berada diatas ketaatan kepada Allah SWT.
Tahun Haji 1442 H adalah harapan, dalam merangkai asa menuju harapan berbagai rasa silih berganti menghinggapi hati, sebagai hamba cukup melakukan ikhtiar selanjutnya pasrahkan diri dalam tawakkal.
Mengiringi penantian suci menuju Baitullah pada Tahun Haji 1442 H mendatang, sebuah kisah dikutip dari Kitab “Ihya Ulum Ad Din” karya Imam Al- Gazali dalam Bab “Asrar Al- Hajj” (Rahasia-rahasiah Haji), melibatkan seorang Ulama masyhur di Makkah Abu 'Abdurrahman Abdullah ibn al Mubarak al Hanzhali al Marwazi (Ibnul Mubarak) dan seorang Tukang Sol Sepatu bernama Ali bin Al Muwaffaq di Kota Damaskus, Syiria.
Kisah yang cukup mengharukan menceritakan bagaimana perjuangan seorang tukang sol sepatu yang selalu merindukan Ka’bah setiap kali mendengar lantunan Talbiyah. Meskipun berpenghasilan kecil tetapi didorong oleh kemauan yang kuat seorang tukang sol sepatu berhasil mengelaborasi kegigihan ikhtiar dengan kekuatan doanya kepada Allah (Ya Allah izinkan aku untuk menunaikan Ibadah Haji) selama berpuluh tahun akhirnya mampu mengumpulkan uang sebesar 350 Dirham (ONH), disaat kerinduannya terhadap Baitullah segera terwujud, disaat impian dan harapan yang ia pendam selama puluhan tahun untuk menunaikan Ibadah Haji sudah didepan mata, akhirnya, sebuah keputusan yang mengejutkan, Ali bin Al Muwaffaq mengurungkan niatnya untuk pergi berhaji dan lebih memilih menyelamatkan satu keluarga yang terancam karna hidup dalam kemiskinan, ia kemudian memutuskan untuk menginfakkan seluruh uang tabungan hajinya atas nama kemanusiaan, disaat dia menyerahkan uang itu iapun menengadahkan wajahnya ke langit seraya berdoa :
Ya Allah.... disinilah Hajiku
Ya Allah... disinilah Makkahku
Doa ini telah mengguncang Arsy, dan Ali Bin Al Muwaffaq mendapatkan predikat Haji Mabrur disisi Allah SWT, dan dengan sebab doa ini pula seluruh Jamaah Haji yang sementara Wukuf di Padang Arafah tahun itu diterima Hajinya dan diampuni seluruh dosa-dosanya.
Perhatikanlah bahwa Ali Bin Al Muwaffaq memang membatalkan kepergiannya untuk menunaikan Ibadah Haji akan tetapi ia tidak pernah berhenti mendatangi Allah Sang Pemilik Baitullah, sehingga meskipun ia tidak datang menunaikan Ibadah Haji, tetapi niat hajinya telah diterima disisi Allah SWT sebagai Haji Mabrur.
”Maka disaat niat ke Baitullah (Rumah Allah) terhalang, disaat yang sama tak satupun kekuatan yang bisa menghalangi kita untuk mendatangi Rabbul Bait (Sang Pemilik Baitullah) sehingga pembatalan pelaksanaan Ibadah Haji hanyalah sebuah perspektif duniawiyah semata, tetapi sejatinya adalah sebuah titik awal dimulainya perjalanan panjang Ibadah Haji dalam perspektif langit (Ukhrawi) bagi mereka yang telah meniatkan Haji.”
Haji bukanlah sekedar Prestise Duniawiyah, lebih dari itu Haji pada hakekatnya adalah Nilai atau Prestise Ukhrawiah.
اللهم اجعله حجا مبرورا وسعيا مشكورا وذنبا مغفورا
والله أعلم