Nenek moyangku pelaut…nyanyian ini sering diidentikkan dengan etnis bugis, karena mereka tergolong pelaut paling berani di Indonesia. Dengan perahu tradisional phinisi nenek moyang orang bugis berlayar dan berdagang sampai ke Madagaskar, Australia, Johor, Patani, Pahang, Kepulauan Fiji, Filipna, Laut Cina Selatan dan hampir seluruh pelosok nusantara. Kontribusi mereka cukup besar dalam penyebaran agama islam di wilayah timur, termasuk ke Bali, Nusa Tenggara dan Kalimantan bagian selatan.
Tetapi bugis bukan Cuma phinisi, mereka juga terkenal sebagai prajurit tangguh yang berkonfrontasi melawan Portugis dan VOC dalam upaya penguasaan jalur perdagangan rempah-rempah dari Maluku. Di bawah pimpinan raja-raja Gowa, Bone, Makassar dan Luwu. Orang bugis melawan senjata api dengan badik. Sejarah masih mencatat nama Sultan Hasanuddin, Arung Palakkad an Wolter Monginsidi sebagai tokoh yang mencuat dari tanah bugis.
Salah satu sumber etika yang selalu mereka pegang adalah apa yang disebut “Pangngaderreng”. H.A. Mattulada Guru Besar Antropologi dari Universitas Hasanuddin pada tulisannya, “Perubahan Sosial dan Kebudayaan Suku-Suku Bangsa di Sulawesi Selatan” yang merupakan salah satu artikel dalam buku “Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia” menyatakan Pangngaderreng merupakan system sosial yang menjadi pedoman hidup etnis bugis, secara langsung atau tidak di mana dan kapanpun.
Pangngaderreng terdiri dari: 1) Ade’ (adat istiadat termasuk kekuasaan dan pemerintahan); 2) Bicara (peradilan); 3) Wari (batas-batas, sikap dan tingkah laku dalam stratifikasi social); 4) Rapang (yurisprudensi yang masih ditaati, termasuk tradisi) dan 5) Sara’ (agama Islam). Unsur yang terakhir ini masuk belakangan dalam abad ke-17 ketika tiga ulama dari Minangkabau membawa ajaran Islam ke Sulawesi Selatan.
Meskipun datang terakhir ternyata ajaran Islam mampu mendominasi empat pilar “Pangngaderreng” terdahulu, seperti disimpulkan Dr. H. Andi Rosdiyanah dalam disertasinya (IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1995) bahwa proses sosialisasi Islam ke dalam kebudayaan bugis sedemikian intensifnya sehingga orang-orang bugis mengidentikkan dirinya dengan Islam dan hampir semua aspek kehidupan mereka bisa ditemukan referensinya dalam syariat Islam. (Usman Pelly: “Pengaruh Islam dalam pembuatan Perahu Phinisi” dalam “Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia” Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 1997.
Esensi Pangngaderreng ini menurut Mattulada, bisa ditelusuri ke pandangan kosmogonis etnis bugis yang meyakini bahwa semua kondisi dan peristiwa di dunia mengikuti ketertiban kosmos. Alam semesta tersusun dari Botillangit (dunia atas), Ale-Kawa (dunia tengah) dan Uriliu (dunia bawah). Jadi pohon memiliki aspek atas (daun) tengah (batang) dan akar (bawah). Manusia memiliki Kepala (atas) Tubuh (tengah) dan Kaki (bawah). Masyarakat pun demikian. Raja dan para bangsawan To Manurung (cikal bakal raja) serta To-Lebbi (orang yang dimuliakan) digolongkan sebagai lapisan atas. To-Deceng (orang baik), Ade-Tana (penguasa negeri dan To-maka-maka (orang kaya) mengisi lapisan tengah. Lapisan bawah terdiri To-tebbe atau To-maega (orang awam, orang kebanyakan). Mereka dikatakan sebagai pemilik negeri atau To-maradeka (orang bebas, orang merdeka) dan memiliki mobilitasi tinggi karena harus mencari nafkah (mapallaong).
Setiap lapisan berlaku sesuai etika masing-masing. Warga lapisan atas harus memperlihatkan sikap, perilaku dan penampilan yang melambangkan kepala atau aspek langit seperti kearifan dan kematangan berfikir, jujur dan tidak semena-mena. Lapisan tengah harus penyabar dan setia seperti bumi, juga tekun, dermawan, berani dan teguh. Sedangkan lapisan bawah harus menunjukkan ketahanan memikul beban, karena sebagai orang merdeka mereka boleh pergi ke mana saja jika batas toleransi yang mereka tetapkan dilampaui oleh lapisan di atasnya.
Kualitas seseorang sebagai manusia ditentukan oleh kearifannya mengenal dan menggunakan ‘bunyi’ yang dinyatakan dalam ungkapan sadda mappabbati tau (bunyi kata wujudkan kata), ada mappabbati gau’ (kata wujudkan perbuatan) dan gau’ mappabbati tau’ (perbuatan menunjukkan manusia). Bagaimana seseorang berhubungan dengan lingkungan sosialnya lewat kata-kata dan perbuatan akan menentukan martabat, harga diri, dan nama baiknya. Semua itu tercakup dalam nilai intrinsik yang disebut SIRI’ sebuah nilai kedirian yang sangat vital setara nyawa sendiri.
SIRI’ tidak menonjolkan egoisme melainkan menjadi penuntun ke interaksi sosial yang saling menghargai yang disebut Pesse atau solidaritas sosial. Dengan SIRI’ dan Pesse orang bugis dituntut untuk punya pribadi yang Accana Lempu (pandai dan jujur), Warani na Getteng (berani dan teguh) Mappassanre Ri Puang Seuwae (berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa).
Pandai, jujur, berani, teguh, mau bertenggang rasa dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa itulah inti “Pangngaderreng”. Berbekal ini orang bugis memulai kiprahnya di berbagai sektor perdagangan, yang sudah mereka tekuni sejak abad ke-13. Pangngaderreng menjadi sumber etika dalam berusaha dan dengan sendirinya menjiwai hokum perdagangan tradisional bugis yang disebut AMMANA GAPPA
Mungkin sekarang nilai-nilai moral yang dikandung Pangngaderreng sudah memudar oleh berbagai faktor. Di zaman pemerintahan colonial Belanda Pangngaderreng dipecah-pecah dan dilumpuhkan sehingga kelima unsurnya terspesifikasi ke bidang masing-masing. Di zaman pemerintahan republik realitasnya dipoles menjadi sekedar produk budaya agar tak mempengaruhi kebijaksanaan politik negara kesatuan. Meskipun demikian esensinya sebagai sumber ajaran moral yang sangat besar peranannya dalam proses sosialisasi tak bisa dihilangkan, bukti bahwa etnis bugis masih tetap setia dengan Pangngaderrengterlhat dalam realitas kehidupan sehari-hari. Baik dalam interaksi sosial antara sesama mereka di Sulawesi Selatan, maupun dalam interaksi sosial mereka dengan etnis-etnis lain di berbagai wilayah administrasi Indonesia dimana mereka berdomisili.
Begitu saja setiap anggota etnis bugis yang dibesarkan dalam atmosfir kebudayaan bugis, dimana pun dia berada akan memperoleh imbas dan resapan nilai-nilai Pangngaderreng dalam kadar yang berbeda-beda. Dalam berbisnis misalnya kejujuran menjadi syarat utama. Unsur ini diperlukan untuk menggalang kepercayaan dari kolega, relasi, konsumen dan mitra bisnis. Keberanian juga sangat melekat dalam stereotype etnik orang. Banyak kisah bisnis orang bugis yang memperlihatkan bagaimana unsur keberanian ini digunakan.
Orang bugis juga terkenal pandai dan mau bertenggang rasa. Tak pernah terdengar ada konflik antar etnis yang disebabkan oleh kedegilan budaya antara orang bugis dengan etnis-etnis lain, baik di wilayah Sulawesi Selatan sendiri maupun di wilayah-wilayah perantauan mereka. (WH)