Opini

Seekor Ikan Mencari Kedamaian (Catatan Kecil tentang Moderasi Beragama)

H. Aliem Bahri

Di sebuah sungai, ada seekor ikan mujair yang bernama lengkap Gelo Mujairan bin Oreochromis Mossambicus. Sungai yang menjadi tempat domisili Gelo ini  terkenal sangat jernih, aman dan bersih.

Di sekelilingnya dipenuhi beragam jenis pohon dan tumbuhan flora lainnya yang menambah indah dan rimbun sisi sungai.
Ada banyak jenis ikan yang mendiami sungai itu.

Suhu di dalam sungai berkisar 15 derajat celcius yang membuat para ikan dari  berbagai suku, ras, kelompok atau organisasi  merasa nyaman.

Gelo yang berasal dari jenis ikan mujair ini dikenal di kalangan ikan sebagai aktivis.
Adapun penamaan ikan jenis 'mujair'  konon kabarnya ditemukan oleh seorang pria yang bernama 'Mujair' di sungai Serang pantai Selatan Blitar, Jawa Timur pada tahun 1939.

Sebagai ikan yang sangat aktif dalam berbagai organisasi di sungai, maka Gelo
merasa perlu untuk mencari konsep kehidupan terbaik bagi para ikan di sungai.
Gelo hilir mudik di sungai.
Beberapa ikan sengaja ditemuinya untuk berdiskusi.

Gelo menemui ikan patin. Ikan jenis ini memiliki fisik dan daging yang mirip ikan lele serta banyak menyimpan vitamin.
Ikan patin memiliki lemak tak jenuh mencapai 50% dari total seluruh nilai gizi yang terkandung di dalam ikan.

Selain itu, ikan ini juga mengandung DHA serta Omega 3 yang tinggi sehingga sangat cocok dikonsumsi oleh anak-anak dan ibu hamil.

"Permisi, pak Bur," sapa Gelo ke ikan patin bernama Burpatin yang sedang mengecat pintu rumahnya.
"Ohh, silahkan, Pak Gelo," sambut ikan patin yang dipanggil pak Bur ini dengan  ramah.

"Ada apa ya?," tanya Pak Bur penasaran.
"Begini, saya mau bertanya, di mana kedamaian sungai itu berada ya?," lanjut Gelo to the point ke tujuannya menemui Pak Bur.

"Hmmm...," Pak Bur tidak langsung menjawab. Keningnya agak berkerut.
"Coba kamu ke Bu Demma Guramiati, mungkin dia tahu karena dia aktif di Majelis Taklim Al Guramiah," ucap si patin.

Gelo melanjutkan perjalanan menuju rumah ikan Gurami yang bernama ibu Demma.

"Assalamu alaikum, Bu Demma," kali ini suara Gelo dibuat sewibawa mungkin. Maklum, ibu Demma ini berparas lembut dengan penampilan yang selalu modis dan fashionable.

Nama asli di ijasah Ibu Demma ini Osphronemus Goramy. Keluarganya banyak tersebar di pulau-pulau Sunda Besar (Sumatera, Jawa, dan Kalimantan), tetapi kini telah dipelihara sebagai ikan konsumsi di berbagai negara di Asia (terutama Asia Tenggara dan Asia Selatan) serta di Australia.

"Waalaikum salam, Kak Gelo," jawab ibu Demma. Suaranya yang merdu membuat Gelo ingin berlama-lama ngobrol dengannya.

"Ada hal yang signifikan dan cukup substantif yang Kak Gelo mau tanyakan?,"
Disodori sambutan dengan istilah tinggi ini membuat Gelo tercekat dan grogi.

Sudah manis, cerdas pula. Guman Gelo dalam hati.

"Kedamaian itu mana di berada sungai, Bu?," tanya Gelo gelagapan. Susunan pertanyaannya menjadi kacau.

"Maksud Kak Gelo, di mana kedamaian sungai itu berada, gitu ya?" Demma membetulkan pertanyaan Gelo sambil tersenyum geli.

"Iya, iya, itu maksud saya, Bu Demma." Gelo mengiyakan sambil menahan malu.

"Coba temui Pak Leleuddin. Beliau adalah ikan lele yang memiliki ciri fisik tubuh yang licin dan tak bersisik. Bentuk badan yang panjang, di mana bagian kepalanya cukup keras dengan bola mata yang kecil serta mulut lebar terletak di ujung moncongnya.
Memiliki 4 pasang sungut peraba yang  berguna baginya saat berada di bagian sungai yang gelap," jawab Demma sangat detail.

"Nama latin dari ikan lele adalah Clarias bertipe nocturnal yang berarti jenis ikan yang aktif mencari makan di malam hari.
Ikan lele dikenal sebagai ikan yang mampu hidup di air dengan kadar oksigen yang rendah.

"Ini dikarenakan lele memiliki insang tambahan yang dapat digunakan untuk bernapas di luar air," lanjut Demma fasih menjelaskan tentang ikan lele.

Gelo segera melanjutkan tour menemui tokoh yang direkomendasikan Bu Demma.
"Selamat siang dan salam sejahtera, Pak Leleuddin," demikian Gelo melempar salam kepada Pak Leleuddin yang dikenal sebagai pegawai kantoran.  

"Ya, Gelo, ada apa?," jawab Pak Leleuddin tersenyum.
"Di mana kedamaian sungai itu berada, pak?," tanya Gelo antusias, berharap bahwa Pak Leleuddin akan bisa menjawab pertanyaannya.

"Pertanyaan yang kemudian kamu ajukan ini kemudian agak sulit, Gelo.
Saya kemudian pikir bahwa pertanyaan ini yang kemudian bagus kamu yang kemudian tanyakan adalah hal yang kemudian bagus kita diskusikan. Hal inilah yang kemudian menjadi ruang diskusi yang kemudian menarik. Tentulah kemudian kita perlu yang kemudian bahas yang tentu saja kemudian kita cari yang kemudian solusi..."

"Stop, pak! Stop!," Gelo jengah mendengar jawaban Pak Leleuddin ini.
Terlalu banyak menggunakan konjungsi atau kata sambung  'kemudian'  yang kebanyakan dan tidak tepat.

Gelo kemudian malah bingung sendiri kemudian heran kemudian mau segera kemudian pamit.

"Kamu kemudian temui saja Ustadz Ishak ya, Gelo," kali ini Pak Leleuddin menyodorkan nama ikan Nila yang bernama Ustadz Ishak Nilansyah.
Tak ingin berlama-lama, Gelo segera meluncur ke rumah kediaman Ustadz Ishak.

Beliau adalah sosok ikan yang giat mengurusi ikan yang nyantri di pesantren.
Sebagai ikan yang begitu dikenal oleh khalayak penikmat sajian ikan air tawar, ikan Ishak Nilansyah yang bernama latin Oreochromis Niloticus memang banyak mengandung sodium glutamat,
dalam dagingnya yang gurih.

Menyantap ikan nila ini akan terasa nikmat bila digoreng atau dibakar.
Dan akan lebih sempurna bila ada sambal dan sayur kangkung tumis.

"Ada apa, anakku Gelo?," sapa Ustadz lshak lembut saat menerima Gelo yang nampak sedikit ngos-ngosan.

"Begini, Ustadz, ada yang ingin saya tanyakan," Kata Gelo sopan.
"Apa itu, nak?"
"Di mana kedamaian sungai itu berada, Ustadz?"
"Di mana Kedamaian sungai?," kali ini Ustadz lshak mengulangi pertanyaan Gelo.
"Iya,Ustadz"
"Baik, sebelum saya menjawab pertanyaanmu, kamu dulu ya yang jawab pertanyaan saya,"
"Siap, Ustadz!"
"Sudah berapa pihak yang kamu temui  menanyakan hal ini sebelum ke saya?"
"Sudah sangat banyak, Ustad."
"Kamu mendapatkan sikap atau respon yang jelek saat kamu bertanya?"
"Tidak, Ustadz. Semua pihak sangat baik dan ramah."
"Mereka itu semua berasal dari ikan yang sejenis dengan kamu?" Cecar Ustadz Ishak.
"Berbeda, Ustadz. Ada  beragam jenis dan suku dari para ikan yang saya jadikan tempat bertanya."

"Apa kamu melewati rumah banyak rumah ibadah, Gelo?"
"Iya, Pak Ustadz. Saya melewati beberapa rumah ibadah yang berbeda agama.
Bahkan beberapa ikan yang menuju ke rumah ibadah itu adalah kenalan baik saya."
"Kamu melewati pasar juga?"
"Ya, tentu. Saya melewati beberapa pasar yang sibuk."
"Sekolah dan kantor juga sempat kamu lihat?"
"Betul sekali, Pak Ustadz. Sepanjang perjalanan saya  melihat anak-anak ikan bermain di halaman  sekolahnya.
Para pegawai ikan juga pada bekerja di kantornya."

"Cukup, saya kira kamu sudah bisa menemukan jawaban yang kamu cari selama ini, Nak Gelo"
"Maksud Pak Ustadz?" tanya Gelo kebingungan. 
"Ya, kamu sudah mendapatkan sungai ideal yang kamu cari.

Kedamaian sesungguhnya adalah apa yang kamu ceritakan barusan.
Semua ikan menjalani kehidupannya seperti biasa tanpa ketakutan.
Anak-anak ikan bersekolah tanpa dicekam rasa takut.

Para ikan yang berjualan di pasar juga melakukan transaksi bisnis tanpa keresahan karena alasan keamanan.

Para ikan pegawai dan bahkan para ikan yang menjalankan ritual agama apapun di rumah ibadah juga tetap bisa khusyuk tanpa dibarengi rasa gelisah.

Bukankah itu semua adalah kedamaian.

Apakah kita menginginkan suasana seperti di sungai Amazon di mana ikan piranha yang ganas siap mencabik dan melukai siapapun yang berbeda dengannya?

Apakah kita ingin mencontoh kehidupan di muara sungai di Afrika sana, di mana buaya siap menerkam siapa saja yang dianggapnya mangsa?
Kan tentu tidak.

Lalu mengapa pula kita mesti mencari lagi kedamaian padahal kita sudah berada di kedamaian itu sendiri.

"Iftah ainaka wa qolbak, Open your eyes and your heart!, Buka mata dan hatimu lebar-lebar, anakku!"

Sungai tempat kita berada ini adalah sungai yang sangat damai.
Justru mereka yang ada di berbagai sungai di luar sana  cemburu pada sungai kita ini, anakku.

Kita di sini meski berbeda suku, bahasa, budaya  bahkan agama tapi tetap guyub, rukun dan saling menghormati dalam perbedaan.

Itulah sesungguhnya karakter kita dan jangan lagi diganggu dengan pemikiran yang macam-macam yang justru bisa merusak apa yang sudah ada.

Gelo manggut-manggut. Paham apa yang dijelaskan oleh Ustadz Ishak Nilansyah.
"Terima kasih, Ustadz," lirih Gelo mengucapkan rasa terima kasihnya ke sosok yang telah memberinya tausiyah yang begitu berharga.

Gelo pulang dengan perasaan lega.
Hatinya berbinar penuh rasa bahagia karena telah tersadar bahwa udara kedamaian ada di sekitarnya dan telah dihirupnya setiap hari.
Itulah udara Moderasi.(edited:OH)


Opini LAINNYA

Berada di Tengah Itu Asyik

Cara Mengurus Produser Nikah

HAB Asasi Manusia

Pendidikan Agama Islam Bagi Anak Usia Dini