oleh:
Miguel Dharmadjie,
S.T., CPS®, CCDd®
Penyuluh Agama Buddha Non PNS
Abhivādanasīlissa,
niccaṁ vaddhāpacāyino,
cattāro
dhammā vaddhanti, āyu vaṇṇo sukhaṁ balaṁ.
Ia yang selalu
menghormati dan menghargai orang yang lebih tua, kelak akan memperoleh empat
hal, yaitu:umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.
(Dhammpada, Syair 109)
Tahun ini, puncak Festival Cheng
Beng jatuh pada tanggal 04 April 2025. Cheng Beng dalam bahasa Mandarin disebut
Qing Ming yang berarti “cerah dan terang”. Cheng Beng adalah tradisi di
Tiongkok untuk
mengenang dan menghormati mendiang para leluhur.
Cheng Beng menjadi tradisi penting masyarakat Tionghoa. Karena
seluruh anggota keluarga berkumpul bersama, melakukan ziarah ke makam orang tua
dan para leluhur.
Cheng
Beng merupakan ritual tahunan masyarakat Tionghoa yang
terus dilestarikan hingga saat ini. Termasuk oleh masyarakat Tionghoa yang
memeluk agama Buddha.
Dalam buddhis,
wujud bakti kepada para leluhur dikenal sebagai Pattidana. Pattidana
merupakan bagian dari sepuluh perbuatan baik (Dasa Puññakiriyavatthu).
Pattidana dapat diterjemahkan
mempersembahkan kebajikan atau persembahan jasa kepada leluhur. Secara umum Pattidana
sering diartikan sebagai “pelimpahan jasa”.
Pattidana merupakan ungkapan bentuk wujud dari rasa bakti dan hormat (katannukatavedi); kepada mendiang orang
tua, para leluhur, dan sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Baik di
kehidupan sekarang atau kehidupan sebelumnya.
Para
mendiang memiliki hubungan karma (kammabandhu)
serta memiliki jasa yang sangat berarti dalam hidup kita. Keberadaan kita saat
ini tidak terlepas dari jasa-jasa kebajikan para leluhur, terutama orang tua.
Orang
tua dikatakan orang yang memberikan pertolongan sejati (pubbakari) dan memberi pertolongan (upakara) kepada anak-anaknya.
Merupakan
kewajiban bagi seorang anak untuk melimpahkan jasa kepada para leluhur. Guru
Agung Buddha di dalam Sigālovada
Sutta, Digha Nikāya menjelaskan salah satu kewajiban anak kepada
orangtua yang telah meninggal. Yaitu dengan melakukan kebajikan dan
mempersembahkan jasa kebajikan tersebut kepada mendiang.
Pattidana merupakan ungkapan rasa bakti
kepada para leluhur yang telah meninggal dunia. Dengan harapan agar mendiang
mengetahui perbuatan baik yang dilakukan oleh sanak keluarganya yang masih
hidup. Kemudian ikut berbahagia (mudita
citta) atas kebajikan yang telah dilakukan itu.
Karena
dengan turut merasakan kebahagiaan, mendiang yang terlahir di alam menderita
telah melakukan kebajikan mereka sendiri. Sehingga mengondisikan dapat terlahir
kembali di alam yang lebih bahagia.
Sebelum
melakukan pelimpahan jasa, seseorang terlebih dahulu harus melakukan suatu
kebajikan. Jasa kebajikan tersebut yang selanjutnya dilimpahkan kepada para
mendiang. Dengan harapan: “semoga kebajikan yang saya lakukan ini dapat turut
dirasakan dan dinikmati leluhur, keluarga dan semua makhluk yang memiliki
hubungan karma di manapun mereka berada”.
Pattidana kadang disalahartikan sebagai
bertentangan dengan hukum karma. Padahal Pattidana
bukanlah “mentransfer” jasa baik. Pattidana
justru menambah nilai dari kebajikan yang telah dilakukan.
Sebagaimana yang
terdapat dalam Kalimat Perenungan Kerap Kali (Abhinhapaccavekkhana Patha),
bahwa : perbuatan apa pun yang
akan kulakukan, baik atau pun buruk, perbuatan itulah yang akan kuwarisi.
Pattidana hanya mengondisikan agar mendiang turut berbahagia, saat melihat
sanak keluarganya berbuat kebajikan atas namanya. Itu pun jika mendiang yang
karena perbuatannya sendiri, terlahir kembali di alam setan kelaparan (peta).
Dalam Tirokudda
Sutta, Khuddakapatha dikatakan, “Sebagaimana air hujan yang turun di
dataran tinggi mengalir ke tempat rendah; demikianlah persembahan jasa yang
disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan menuju ke para mendiang.
Sebagaimana
sungai yang meluap airnya akan mengalir memenuhi lautan; demikianlah
persembahan jasa yang disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan
menuju ke para mendiang”.
Pattidana adalah perbuatan mulia yang
dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tidak terikat oleh
waktu dan tempat.
Mari jadikan setiap kesempatan dalam hidup ini untuk
selalu berbuat kebajikan. Ingatlah untuk senantiasa mempersembahkan jasa
kebajikan tersebut kepada para leluhur, usai kita melakukan suatu kebajikan,
Karena Pattidana
menjadi ungkapan nyata rasa bakti, penghormatan, cinta kasih dan kasih sayang
kepada para leluhur, yang sangat berjasa dalam kehidupan kita.
Semoga semua makhluk
berbahagia.*(mi_dhata)
Biodata Penulis:
Nama : Miguel Dharmadjie, S.T., CPS®,
CCDd®
Profesi : Pembicara Publik, Dhammaduta,
Penyuluh Agama Buddha Non PNS, Penyuluh Informasi Publik (PIP), dan Penulis.