Kemitraan Orangtua Dan Madrasah, Pondasi Kuat Membentuk Karakter Anak
Kontributor
Oleh : Muhammad Nasir Suddin, SSP
Penulis adalah wakil Kepala Madrasah Bidang Humas MTsN Gowa
Pendidikan anak adalah tanggung jawab kolektif antara keluarga dan lembaga pendidikan. Dalam lingkungan madrasah, sinergi ini bukan sekadar teknis, melainkan juga bermuatan spiritual yang mendalam.
Karena itulah, rumah dan madrasah ibarat dua kutub pembentuk jati diri anak. Rumah menjadi tempat awal penanaman nilai, sedangkan madrasah memperkuatnya melalui struktur pembelajaran yang sistematis dan Islami.
Namun, agar proses tersebut berjalan selaras, komunikasi antara orangtua dan madrasah menjadi pondasi penting. Dialog terbuka dan penuh empati menjembatani perbedaan serta menyatukan tujuan pendidikan.
Terlebih, orangtua memikul peran ganda: sebagai pendidik karakter di rumah sekaligus mitra pendukung madrasah dalam pembinaan akhlak. Peran ini menuntut keterlibatan aktif dan kesadaran bersama.
Di sisi lain, madrasah hadir bukan hanya sebagai tempat belajar ilmu formal, tetapi juga sebagai wadah internalisasi nilai-nilai Islam. Di dalamnya, karakter anak tumbuh dalam atmosfer keagamaan yang terarah.
Sayangnya, arus digital yang semakin massif membawa tantangan baru dalam pembentukan karakter anak. Konten tak terkurasi bisa mempengaruhi nilai anak secara diam-diam.
Untuk itulah, kemitraan yang harmonis antara orangtua dan madrasah menjadi benteng penting. Melalui kegiatan kolaboratif seperti parenting dan pengajian keluarga, nilai-nilai dapat disampaikan secara konsisten di dua ruang utama kehidupan anak.
Keselarasan visi ini semakin kuat jika disertai penyusunan target pendidikan anak secara bersama. Dengan begitu, madrasah dan orangtua menyatu dalam arah tumbuh kembang anak yang jelas dan bermakna.
Lebih jauh, peran orangtua sebagai teladan menunjukkan bahwa pendidikan karakter bukan sekadar teori, melainkan perilaku nyata yang dapat ditiru anak dalam keseharian.
Hal yang sama berlaku di lingkungan madrasah. Ketika nilai-nilai dari rumah seperti kesopanan dan doa diperkuat di sekolah, anak merasakan konsistensi yang menenangkan dan membentuk kepercayaan diri.
Namun, itu semua akan lebih efektif jika harapan dan metode pendidikan orangtua dan madrasah diselaraskan. Perbedaan gaya komunikasi bisa membingungkan anak bila tidak dibicarakan bersama.
Sebagai upaya untuk menjaga arah pendidikan, kemitraan perlu dilengkapi dengan evaluasi berkala. Refleksi bersama membuka ruang perbaikan dan penguatan strategi pendampingan anak.
Karakter bukan dibentuk dalam hitungan hari, melainkan melalui proses panjang. Di sinilah kesabaran dan konsistensi menjadi nilai utama dari kolaborasi dua pihak yang paling dekat dengan anak.
Meski hasilnya tidak selalu langsung terlihat, menghargai perubahan kecil seperti sapaan sopan atau kejujuran sederhana adalah bagian penting dalam memperkuat karakter anak.
Apalagi, di madrasah, guru menjadi figur kedua setelah orangtua. Koneksi yang hangat antara guru dan orangtua memberi rasa aman dan kesinambungan dalam pendidikan karakter anak.
Namun keharmonisan nilai antara rumah dan madrasah tetap menjadi faktor penentu. Anak akan lebih mudah membentuk jati diri jika ia tidak mengalami konflik nilai di dua tempat tersebut.
Tak kalah penting, karakter kuat lahir dari kesadaran, bukan sekadar kepatuhan. Kemitraan ideal mendorong anak memahami makna di balik perilaku baik, bukan hanya menjalankannya karena disuruh.
Maka, anak perlu diberi ruang untuk bersuara. Keterlibatan aktif mereka membentuk rasa memiliki dan mendorong tumbuhnya karakter melalui proses yang mereka pahami sendiri.
Dengan demikian, madrasah berfungsi sebagai katalis perubahan, sementara rumah adalah tempat nilai itu dihidupkan. Keduanya saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain.
Dan bila kemitraan ini terus terjaga, kita tengah membentuk generasi Islami yang bukan hanya cerdas akademis, tetapi juga unggul secara moral dan spiritual. Sebuah pondasi kuat bagi masa depan umat dan bangsa.