Oleh: Muhammad Ayyub
(Penghulu KUA Liukang Tupabiring, Kab. Pangkep)
Gelombang globalisasi dan modernisasi yang masif menempatkan budaya lokal pada ujian berat untuk mempertahankan eksistensinya. Namun, Desa Tompo Bulu Kec. Balocci mampu mempertahankan adat istiadatnya yang sarat makna. Desa Tompo Bulu di Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), merupakan contoh unik di mana nilai agama dan budaya berjalan beriringan secara harmonis.
Salah satu adat yang masih dijaga kuat oleh masyarakat desa ini adalah kewajiban melangsungkan pernikahan pada hari Jumat. Tradisi ini bukan hanya berlangsung secara turun-temurun, tetapi bahkan telah diformalkan melalui Peraturan Desa Nomor 5 Tahun 2022. Aturannya jelas: siapa pun yang hendak menikah harus melangsungkan acara pada hari Jumat. Apabila dilanggar, pasangan tersebut akan dikenakan sanksi sosial. Meskipun terdapat sanksi sosial, tetapi sampai saat ini belum ada satu pun dari masyarakatnya yang melanggar aturan itu. Ini menunjukkan betapa masyarakat Desa Tompo Bulu menjaga dan mematuhi tradisinya.
Bagi masyarakat Tompo Bulu, Jumat bukan sekadar hari biasa, melainkan hari yang dimuliakan secara spiritual. Jumat dipandang sebagai Sayyidul Ayyam (penghulu segala hari) dan hari penuh keberkahan. Dalam hadis, disebutkan bahwa pada hari Jumat, Nabi Adam diciptakan dan dimasukkan ke surga (HR Muslim no. 854). Beberapa ulama, seperti Ibnu Qudamah, bahkan menyatakan bahwa akad nikah pada hari Jumat lebih utama karena pernah dilakukan oleh para salaf saleh (Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni).
Walaupun tidak terdapat dalil yang secara eksplisit mewajibkan pernikahan dilangsungkan pada hari Jumat, penetapan hari tersebut oleh masyarakat dapat dibenarkan melalui prinsip ‘urf (kebiasaan). Dalam fikih Islam, ‘urf Sahih merupakan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash dan dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum. Imam Jalaluddin al-Suyuti menegaskan bahwa perkara-perkara yang tidak dijelaskan secara spesifik oleh nash dapat dikembalikan kepada adat masyarakat setempat (Jalaluddin al-Suyuti dalam Kitab al-Asybah wa al-Naza’ir).
Tradisi Jumat Nikah ini telah disepakati oleh tokoh agama, tokoh adat, aparat desa, serta masyarakat umum. Bentuk sanksi yang diterapkan bukan berupa paksaan atau hukuman fisik, melainkan sanksi sosial sebagai kontrol budaya yang telah diwariskan. Konsep ini sejalan dengan ta‘zir bi al-‘urf, yakni bentuk sanksi atas pelanggaran norma sosial yang diakui dan dihormati oleh komunitas.
Alasan utama pelaksanaan pernikahan pada hari Jumat juga berkaitan erat dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Sebagian besar penduduk Tompo Bulu adalah petani yang bermukim di ladang yang jauh dari pusat desa. Mereka umumnya hanya kembali ke rumah utama setiap hari Jumat untuk melaksanakan salat Jumat. Oleh karena itu, hari Jumat menjadi waktu yang paling memungkinkan untuk menggelar acara pernikahan yang membutuhkan kehadiran banyak orang.
Lebih dari itu, terdapat tradisi lain yang unik dan sarat makna: pasangan calon pengantin diwajibkan untuk menanam minimal dua pohon sebelum melangsungkan pernikahan. Dalam refleksi penulis, tradisi ini pantas disebut sebagai bentuk “menanam pohon sebelum menanam bibit”. Tradisi ini memperlihatkan bahwa pernikahan tidak hanya berkaitan dengan dua individu, melainkan juga memiliki dimensi sosial dan ekologis.
Tradisi ini juga sejalan dengan gagasan Menteri Agama Anregurutta Nasaruddin Umar mengenai pentingnya ekoteologi, yakni pendekatan keberagamaan yang memandang pelestarian lingkungan sebagai bentuk penghambaan kepada Tuhan. Dalam pandangan beliau, akar utama krisis lingkungan global bukan semata disebabkan oleh perkembangan teknologi, melainkan oleh cara manusia memaknai keberadaan dirinya dan hubungannya dengan alam. “Menanam pohon adalah ibadah ekologis. Itu bentuk nyata dari cinta kepada Tuhan dan ciptaan-Nya,” ujarnya. Oleh sebab itu, tindakan seperti menanam pohon menjelang pernikahan merupakan bentuk konkret dari kesalehan ekologis yang sangat relevan di tengah ancaman krisis iklim global.
Tradisi Jumat Nikah merupakan bukti bahwa Islam tidak anti terhadap budaya, tetapi mengakomodasi dan memuliakan nilai-nilai lokal yang selaras dengan syariat. Masyarakat Tompo Bulu berhasil membingkai agama dalam adat, dan adat dalam agama. Tidak ada pertentangan, yang ada hanyalah sinergi antara spiritualitas dan sosialitas.
Langkah masyarakat Tompo Bulu layak dijadikan contoh oleh desa-desa lain dalam menjaga identitas, warisan leluhur, dan keharmonisan sosial. Sudah saatnya kita tidak lagi memandang adat sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman. Justru melalui kearifan lokal seperti Jumat Nikah dan penanaman pohon, kita belajar bahwa keberagamaan dapat berjalan seiring dengan kearifan sosial dan ekologi. Islam yang membumi bukanlah Islam yang membebani, tetapi yang membimbing sesuai realitas umatnya. Tompo Bulu telah menunjukkan hal itu dengan caranya sendiri.