Tradisi Unik Awal Ramadhan, "Pelleng-pelleng", Mulai Terkikis Di Dua Boccoe, Kab. Bone

Kontributor

Dua Boccoe, Humas Bone - Memasuki awal bulan Ramadhan, sebagian kecil masyarakat Desa Uloe, Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone, masih melestarikan tradisi unik yang disebut "Pelleng-pelleng". Tradisi ini merupakan warisan turun-temurun yang dilakukan untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Namun, sayangnya, tradisi ini mulai terkikis seiring berjalannya waktu.
Tradisi "Pelleng-pelleng" dilaksanakan pada Jumat, 28 Februari 2025, di rumah-rumah warga Desa Uloe. "Pelleng" dalam bahasa Bugis berarti pelita atau lampu tradisional yang terbuat dari buah kemiri. Cara membuatnya pun sangat sederhana. Buah kemiri ditumbuk halus bersama kapas hingga mengeluarkan minyak. Kemudian, adonan tersebut dibentuk lonjong dan ditusuk dengan tusuk sate. Tusuk sate tersebut kemudian ditancapkan pada kulit batang pisang yang telah dibelah-belah. Setelah semua "pelleng" selesai dibuat, diletakkan di beberapa sudut rumah, baik di luar maupun di dalam.
Ketika matahari terbenam atau waktu maghrib tiba, "pelleng" dinyalakan seperti lilin, menerangi seisi rumah. Lampu-lampu modern kemudian dimatikan, menciptakan suasana yang khusyuk dan tradisional.
Menurut penuturan Hj. Wadi, salah seorang warga Desa Uloe, tradisi ini telah dilakukan sejak dahulu kala. "Kami pertahankan sebagai 'sennu-sennureng' (warisan leluhur) memasuki bulan puasa," ujarnya. Hj. Wadi juga menambahkan bahwa tradisi ini muncul karena pada zaman dahulu belum ada lampu dan lilin, jadi masyarakat berinisiatif membuat penerangan dari buah kemiri agar rumah mereka terang saat menyambut Ramadhan.
Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Modernisasi dan kemudahan akses terhadap penerangan modern menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Meskipun mulai terkikis, sebagian kecil masyarakat Desa Uloe masih berusaha mempertahankan tradisi ini. Mereka berharap, tradisi "Pelleng-pelleng" dapat terus dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal dan menjadi pengingat akan kesederhanaan dan kebersamaan di bulan Ramadhan. (Ashar/Ahdi)