Provinsi

Dari Wajo Tanah Bugis, Cerita Peserta Di Tengah Ketegangan MQKI 2025

Foto Kontributor
Sumaryadhi

Kontributor

Jumat, 03 Oktober 2025
...

Wajo, (Humas Kemenag Sulsel) – Jum'at, 3 Oktober 2025, di lingkungan Universitas As'adiyah Lapongkoda, Kabupaten Wajo, terasa berbeda. Langkah para santri yang membangun menuju ruang-ruang lomba bercampur dengan bisikan doa dari guru pendamping yang setia mengawal. Seluruh majelis Musabaqah Qira'atil Kutub (MQK) tampak penuh. Sesi penyisihan Marhalah Ulya dan babak semifinal Marhalah Ula serta Wustha serentak digelar.

Di balik wajah-wajah santri yang menenteng kitab kuning, ada cerita perjuangan panjang. Ada rasa tegang, cemas, sekaligus keyakinan yang menyala.

Salah satunya datang dari Filzah Zahrah Aqylah, santriwati kafilah tuan rumah As'adiyah Kabupaten Wajo. Mengenakan seragam hijau khas As'adiyah, ia duduk menunggu giliran. Nomor tampilnya: delapan. Majelis lombanya : Hadits Marhalah Wustha.

“Deg-degan sekali, Kak,” ucapnya dengan suara pelan, seraya terus menatap kitab rujukan yang dibawanya.

Bagi Filzah, ini adalah pertama kalinya ikut MQK. Persiapan memang sudah dilakukan jauh hari, guru-guru di pesantren telah menuntun bagaimana membaca, memahami, dan mengupas isi kitab. Namun rasa gugup tak pernah bisa hilang sepenuhnya. Justru itulah tantangan sekaligus pengalaman berharga yang kelak akan menjadi cerita tersendiri dalam perjalanan belajarnya.

Cerita lain datang dari Alyah Aulia Razak, santriwati asal kafilah Sulawesi Selatan yang tampil di majelis Akhlak Marhalah Ulya. Meski sudah berbekal pengalaman di MQK Nasional VII tahun 2023 di Lamongan, rasa tegang masih saja hadir.

“Saya sudah fokus bimbingan sebulan terakhir, kitabnya dipelajari secara intensif, tapi tetap saja gemetar kalau sudah mau tampil,” tutur Alyah sambil tersenyum.

Bedanya, jika dua tahun lalu Alyah masih di level Marhalah Wustha, kali ini ia sudah naik jenjang ke Marhalah Ulya. Ia menyadari tantangan yang dihadapinya semakin berat.

“Kalau di Wustha, mungkin masih sebatas pemahaman dasar. Tapi di Ulya, penguasaan kitab harus lebih mendalam, cara penyajiannya juga dituntut lebih matang,” ujarnya.

Di tengah ketegangan itu, suasana MQK justru semakin menguatkan ukhuwah. Santri dari berbagai penjuru nusantara, bahkan dari negara-negara sahabat, berkumpul di satu tempat dengan satu semangat: menghidupkan tradisi literasi pesantren. Tidak ada yang benar-benar berkompetisi untuk saling mengalahkan. Mereka hadir dengan tekad untuk saling belajar, memperkaya pengalaman, dan menjaga warisan intelektual Islam.

Bagi Filzah dan Alyah, juga ratusan santri lainnya, MQK bukan sekadar lomba. Ia adalah ruang ujian mental, intelektual, sekaligus spiritual. Ada kebanggaan bisa berada di hadapan dewan hakim, membacakan dan menjelaskan teks kitab, lalu menyerap hikmah yang terkandung di dalamnya.

(Humas)

Editor: Andi Baly

Terpopuler

Terbaru

Menu Aksesibilitas
Ukuran Font
Default