Oleh: Afifuddin Harisah
Konsultan ibadah haji Sektor Mekkah 2023-2024
Ketua Seksi Pemantapan Petugas haji Embarkasi UPG/Makassar Tahun 2025
Saat membayangkan
ibadah haji, yang terlintas biasanya thawaf, wukuf, dan melempar jumrah. Semua
itu memang puncak ritual fisik dan spiritual. Tapi, ada satu jalan menuju haji mabrur
yang sering terlupakan: melayani jamaah haji dengan tulus dan ikhlas.
Rasulullah SAW
bersabda,
"Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Ahmad, Thabrani,
Daruquthni)
Dalam konteks haji,
siapa yang lebih utama di sisi Allah: orang yang sibuk dengan thawafnya sendiri
atau yang menunda thawaf demi membantu seorang nenek renta?
Kisah Hasan bin Ali: Menunda Thawaf untuk Menolong
Hasan bin Ali r.a.,
cucu Rasulullah, suatu hari tengah asyik thawaf. Tapi ketika melihat seorang
kakek kelelahan, beliau menghentikan thawafnya, lalu mendampingi hingga
selesai. Hasan memahami bahwa membantu hamba Allah di Tanah Haram lebih utama
dalam situasi itu daripada meneruskan thawafnya.
Haji bukan hanya soal
menyelesaikan ritual pribadi. Haji adalah tentang kepekaan sosial dan
kepedulian kepada sesama tamu Allah.
Uwais Al-Qarni: Melayani dalam Kesunyian
Uwais al-Qarni, sosok
zuhud yang doanya mustajab, dikenal senyap melayani jamaah haji. Ia membantu
peziarah yang kelelahan, mengangkat barang bawaan, dan menolong yang kesulitan
— tanpa mencari pujian atau pengakuan. Ia mengajarkan bahwa dalam haji, amal
sosial tak kalah penting dari amal ritual.
Melalui sikapnya,
Uwais mengingatkan kita: semakin banyak kita meringankan beban orang lain,
semakin ringan pula perjalanan kita menuju keridaan Allah.
Petugas Haji: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Di masa kini, para
petugas haji — dari pembimbing, ketua kloter, tim medis, logistik, akomodasi,
hingga relawan PHD— sejatinya sedang menapaki jalan kemabruran. Setiap langkah
mereka menuntun jamaah, setiap sabar menghadapi keluhan, dan setiap tenaga yang
tercurah untuk membantu, semua tercatat sebagai amal besar.
Sering kali, para
petugas harus mengorbankan shalat berjamaah di Masjidil Haram atau melewatkan
ziarah sunnah demi mendampingi jamaah yang sakit atau tersesat. Tapi justru di
situlah letak kemuliaannya. Karena melayani tamu Allah adalah bentuk ibadah yang
sangat dicintai Allah.
Kemabruran Itu Ada di Hati
Haji mabrur tidak
hanya dinilai dari banyaknya thawaf atau panjangnya doa. Ia diukur dari sejauh
mana kita menjadi rahmat bagi sesama jamaah. Allah tidak hanya melihat betapa
tekunnya kita beribadah untuk diri sendiri, tapi juga sejauh mana kita memudahkan
urusan orang lain di tanah suci-Nya.
Bagi petugas haji,
ini adalah ladang pahala yang luas. Setiap sabar dalam pelayanan, setiap senyum
yang menguatkan, setiap uluran tangan yang memudahkan — semua itu membangun
tangga kemabruran.
Sabda Nabi Muhammad
SAW,
"Barang siapa
memudahkan urusan orang lain, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan
akhirat."(HR. Muslim)
Melayani jamaah haji
bukan sekadar tugas administratif, melainkan bentuk ibadah luar biasa. Kalau
tubuh terasa lelah, ingatlah Hasan bin Ali yang rela menunda thawafnya. Kalau
hati terasa berat, kenanglah Uwais al-Qarni yang mengangkat beban orang lain dengan
ikhlas.
Kemabruran bukan
sekadar harapan kosong. Ia nyata, sedang dirajut setiap hari melalui pelayanan
penuh cinta kepada para tamu Allah.
Teruslah melayani
dengan sabar dan ikhlas. Karena di antara Anda, para pelayan jamaah haji, ada
yang Allah pilih menjadi penghuni surga — bukan hanya karena banyaknya ibadah
ritual, tetapi karena luasnya cinta dan bakti kepada sesama. Atau bisa jadi ada
yang ditarik oleh jamaah haji lansia renta yang pernah ia bantu dan papah untuk
menemaninya di surga.