Oleh :
Saprillah “Pepy Al-
Bayqunie”
(Kepala Balai Litbang
Keagamaan Makassar)
Pernyataan Menteri
Agama bahwa guru bukanlah tempat untuk mencari uang sempat menimbulkan
gelombang reaksi di masyarakat. Sesungguhnya, tidak ada yang keliru dengan
kalimat ini. Ungkapan serupa bahkan sudah sering kita dengar: jika ingin
mencari kekayaan, jangan menjadi guru, ulama, atau pejabat. Jalan itu bukanlah
jalan untuk menumpuk harta. Bila ingin kaya, jadilah pedagang atau pengusaha.
Namun, mekanisme
pemaknaan di era post-truth berbeda. Siapa yang mengucapkan apa sering kali
menjadi perkara tersendiri. Kata-kata seorang pemimpin dengan cepat tersebar di
media sosial, ditafsirkan secara beragam, lalu dibentuk ulang oleh konteks yang
diciptakan warganet. Algoritma media sosial kerap membelokkan makna, bahkan
menciptakan makna baru yang jauh dari maksud awal pembicara.
Itulah yang sedang
terjadi.
Strategi meminta maaf
secara terbuka di media sosial pun sering kali tidak efektif; ia hanya
mengakumulasi serangan baru. Karena itu, diam terkadang justru menjadi strategi
terbaik untuk menenangkan gelombang algoritma yang terlanjur viral
Di tengah arus opini
publik yang cepat menggelembung besar Menteri agama sebenarnya tidak perlu
meminta maaf. Tokh beliau tidak menghina siapa-siapa. Namun rupanya Menteri
Agama memilih melakukannya. Bagi sebagian orang, tindakan ini bisa dipandang
sebagai kelemahan atau tanda “kalah” di hadapan tekanan publik. Tetapi, bagi
saya permintaa maaf ini menunjukkan dimensi lain yang menarik dari seorang
Menteri Agama.
Dalam tradisi sufisme
Islam, permintaan maaf bukanlah pengakuan kalah, melainkan pengakuan cinta.
Para sufi selalu menekankan bahwa kebenaran bukan sekadar apa yang keluar dari
lisan, melainkan apa yang sampai ke hati orang lain. Bila kebenaran itu disampaikan
dengan keras sehingga melukai, maka luka itu bukan hanya milik orang lain,
tetapi juga bayangan luka dalam diri kita sendiri.
Meminta maaf berarti
mengakui bahwa ada luka yang harus disembuhkan. Ia adalah ikhtiar untuk
mengembalikan keseimbangan, sebagaimana air membersihkan debu, atau zikir
membersihkan hati. Sufi besar Jalaluddin Rumi pernah menulis: “Kebenaran itu
seperti cermin yang jatuh dari langit, pecah berkeping-keping. Setiap orang
memungut satu kepingan dan mengira dialah yang memegang kebenaran.” Bila
kebenaran kita melukai, maka meminta maaf adalah upaya menyatukan kepingan
cermin itu kembali, agar cahaya dapat memantul utuh.
Permintaan maaf dengan
demikian bukanlah persoalan siapa salah dan siapa benar, melainkan siapa yang
lebih dahulu menempuh jalan penyembuhan. Dalam perspektif sufistik, kebenaran
yang tidak mengandung kasih sayang hanyalah sebentuk kesombongan. Sedangkan
kasih sayang yang diucapkan meski dalam bentuk maaf, justru mendekatkan
seseorang pada kebenaran hakiki.
Maaf Sebagai Jalan
Pemimpin
Di era politik modern,
kata “maaf” sering kali dianggap tabu. Pemimpin lebih suka menegakkan gengsi
daripada merendahkan hati. Padahal, dalam sejarah para arif, kerendahan hati
seorang pemimpin justru menjadi sumber kekuatan moral yang lebih dalam.
Sufi selalu mengajarkan
bahwa jalan kepemimpinan sejati adalah jalan pengosongan diri. Tidak ada ego
yang ditegakkan, tidak ada gengsi yang dijaga, kecuali keikhlasan untuk
melayani. Karena itu, ketika seorang Menteri Agama meminta maaf, ia sedang
meneladankan nilai kepemimpinan yang bersumber dari tradisi spiritual Islam
sendiri: kepemimpinan yang merawat hati.
Rumi menulis: “Luka
adalah tempat cahaya masuk ke dalam dirimu.” Mungkin kata-kata Menteri Agama
telah melukai sebagian hati, tetapi permintaan maafnya adalah cahaya yang
masuk. Cahaya yang mengingatkan bahwa seorang pemimpin tidak hanya berbicara
kepada logika publik, tetapi juga kepada hati masyarakat.
Menjadikan Maaf sebagai
Budaya
Kita hidup di era yang
penuh dengan polarisasi, di mana perbedaan kata bisa menjadi bara perpecahan.
Media sosial memperbesar luka, membelokkan makna, dan sering menciptakan makna
baru yang jauh dari maksud awal pembicara. Dalam situasi seperti ini, maaf bisa
menjadi jembatan yang menyatukan.
Budaya meminta maaf,
jika ditumbuhkan, akan melunakkan relasi sosial kita. Ia akan menumbuhkan
kerendahan hati kolektif. Ia akan mengingatkan bahwa kebenaran bukan untuk
mengalahkan, melainkan untuk menerangi.
Permintaan maaf Menteri
Agama karenanya bukan hanya peristiwa pribadi, melainkan teladan. Ia
mengajarkan bahwa bahkan di tingkat tertinggi kepemimpinan, kata “maaf” tetap
memiliki tempat. Bahwa maaf tidak mengecilkan wibawa, justru memperkuatnya.
Bahwa maaf bukan tanda salah, melainkan tanda cinta.
Meminta maaf bukan
sekadar tindakan politis, melainkan laku spiritual. Ia adalah bagian dari jalan
panjang menuju kejernihan. Dan mungkin, justru di situlah letak kemuliaan
seorang pemimpin: bukan pada kekerasan kata-kata, tetapi pada kelembutan hati
yang berani mengucapkan “maaf.”