Kemenag Luwu Utara Bersama Climate Catalyst: Program Ekoteologi Tarbiyah For Climate Tembus Ajang Internasional Di Brazil
Kontributor
Brasilia, Brazil (Kemenag Lutra) - Sebuah kebanggaan besar datang dari Kabupaten Luwu Utara. Program Tarbiyah for Climate, yang digagas oleh pemuda-pemudi daerah ini, berhasil menembus seleksi internasional #Youth4Climate (Y4C) Call for Solutions dan menjadi salah satu dari 50 solusi terpilih dari 2.618 aplikasi di seluruh dunia, dengan tingkat kelulusan hanya 1,9%.
Program ini menjadi bukti bahwa inovasi berbasis nilai-nilai keislaman dapat menjadi bagian dari solusi global terhadap krisis iklim. Lebih dari itu, Tarbiyah for Climate merupakan respon konkret terhadap program Kementerian Agama Republik Indonesia tentang penguatan ekoteologi, yakni upaya mengintegrasikan ajaran keagamaan dengan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Tarbiyah for Climate adalah bagian dari flagship program Climate Catalysts Indonesia, yang digerakkan oleh Samintang, Nurul Habaib Al Mukarramah, Rahmat Aries, Kwan Wirawan Kwandou, Fiona Alfionita Muda Karib, M. Rizal, dan Aldiansyah.
Samintang, selaku Project Leader, menjelaskan bahwa Tarbiyah for Climate berangkat dari keprihatinan atas dampak perubahan iklim yang semakin dirasakan oleh masyarakat pedesaan, termasuk di Luwu Utara.
“Ketika kita merawat bumi dengan cinta dan kesadaran, sebenarnya kita sedang merawat iman kita sendiri,” ujar Samintang. “Melalui Tarbiyah for Climate, kami ingin menumbuhkan kesadaran bahwa aksi lingkungan secara kolektif dengan meneguhkan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Kami percaya bahwa setiap langkah kecil untuk melindungi bumi adalah bentuk ibadah yang menghadirkan keberkahan, baik bagi manusia maupun seluruh makhluk ciptaan."
Program ini mendapat dukungan penuh dari Kementerian Agama Kabupaten Luwu Utara, yang memandangnya sebagai implementasi nyata dari semangat ekoteologi. Kepala Kantor Kemenag Luwu Utara menyampaikan apresiasi atas prestasi tersebut:
“Kami bangga, program ini bukan hanya mendukung kebijakan ekoteologi Kementerian Agama, tapi juga berhasil membawa nama Luwu Utara ke panggung dunia. Ini membuktikan bahwa madrasah dan pesantren bisa menjadi pusat solusi global,” ujarnya.
Dalam pelaksanaannya, Rahmat Aries sebagai perencana ahli pertama di kemenag luwu utara berperan sebagai Partnership and Stakeholder Officer, menjembatani kerja sama antara lembaga keagamaan, pemerintah daerah, serta mitra internasional.
“Kolaborasi lintas sektor dan lintas iman menjadi kekuatan utama kami. Tarbiyah for Climate bukan sekadar program lokal, melainkan gerakan global yang tumbuh dari akar keimanan,” jelas Rahmat.
Sementara itu, Nurul Habaib Al Mukarramah, yang akrab disapa Lulu, selaku Curriculum Developer, berkesempatan mempresentasikan program Tarbiyah for Climate di Brasília, Brazil, dalam forum Y4C Flagship yang mempertemukan para inovator muda dari berbagai negara. Presentasi Lulu yang mengangkat konsep pendidikan iklim berbasis nilai Qur’ani menarik perhatian para peserta internasional, yang terinspirasi oleh pendekatan spiritual yang berpadu dengan sains dan aksi komunitas.
“Pada pertemuan pemuda dari seluruh dunia di Brasília, kami memperkenalkan program Tarbiyah for Climate yang mengimajinasikan kembali pemahaman nilai-nilai keimanan dalam islam untuk berada di koridor yang sama dengan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik” tutur Lulu.
“Kami menerima respon yang sangat baik dan keinginan kuat dari berbagai pihak untuk bekerja sama mendorong lebih banyak pegiat iklim dan lingkungan yang mampu menyebarkan pesan bahwa melindungi lingkungan adalah bentuk dari beramal saleh” tutur Lulu.
Selain itu, Lulu juga memimpin penyusunan Climate Change Resilience Toolkit pertama untuk madrasah di Indonesia, yang menjadi panduan konkret bagi guru-guru agama dalam mengajarkan kepedulian lingkungan sebagai bagian dari ibadah.
Melalui program IMAN Climate Fellowship (Islamic Mobilization for Action on Nature), Tarbiyah for Climate terus membekali pemuda dan pendidik Islam dengan wawasan ilmiah dan spiritualitas ekologis.
Dengan dukungan Kementerian Agama dan kolaborasi lintas generasi, Tarbiyah for Climate membuktikan bahwa iman dan ilmu dapat bersinergi untuk membangun ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim.
“Ke depan, kami berharap Tarbiyah for Climate dapat berkembang menjadi model strategis pengarusutamaan ekoteologi di lembaga pendidikan Islam di seluruh Indonesia. Program ini diharapkan menjadi ruang pembelajaran dan wadah pembentukan kepemimpinan hijau berbasis nilai keagamaan. Untuk itu, kami membuka peluang kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah daerah, pesantren, madrasah, perguruan tinggi, media, organisasi masyarakat sipil, hingga sektor swasta dan organisasi internasional untuk memperkuat riset, inovasi, dan aksi nyata di lapangan. Dukungan multipihak akan mempercepat terwujudnya ekosistem pendidikan Islam yang adaptif, resilien, dan berperan aktif dalam solusi iklim nasional,” pungkas Samintang.
Tarbiyah for Climate tumbuh sebagai manifestasi dari kesadaran ekologis yang berakar pada nilai-nilai spiritual dan kebijaksanaan lokal. Dari pesantren dan madrasah di pelosok Indonesia, lahir gerakan yang merefleksikan bahwa merawat bumi adalah bentuk pengabdian tertinggi terhadap Sang Pencipta. Inisiatif ini mengajak setiap pihak yang mencakup pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk melihat pendidikan lingkungan sebagai strategi peradaban yang menanamkan tanggung jawab moral terhadap alam semesta.
“Ke depan, kami berharap Tarbiyah for Climate dapat memperluas jangkauan dengan membangun kolaborasi lintas iman. Kami percaya, melalui dialog antarumat beragama dan aksi bersama lintas keyakinan, kita dapat meneguhkan pesan universal bahwa merawat bumi adalah panggilan nurani, warisan iman, dan wujud kasih terhadap kehidupan itu sendiri, sebagai bentuk cinta kita kepada satu-satunya planet yang terus memberi kehidupan, planet Bumi,” tutup Samintang.