Daerah

Korupsi Bukan Budaya Kita

Foto Kontributor
Onya Hatala

Kontributor

Minggu, 26 Oktober 2025
...

Oleh : H. Alim Bahri

Penulis adalah Kepala Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gowa

"Jangan Ikut Budaya Luar Negeri, 

Ikutlah Budaya Negeri Sendiri, Korupsi "

Begitu tulisan di belakang truk yang membawa material bangunan.

Meski tulisannya jelek dan tidak rapi tetapi tetap saja mudah terbaca. Siapapun pengendara yang berada di belakang truk tersebut pastilah bisa melihat tulisan itu.

Reaksi semua orang yang membacanya pastilah berbeda-beda. Ada yang geli, lucu, sinis, marah, sedih, terinspirasi atau malah lapar. Loh, kok ada reaksi terinpirasi?

Ahh.. Nantilah kita bahas di akhir tulisan.

Terus gimana pula ceritanya ada yang bereaksi lapar saat melihat atau mendengar kata korupsi?

Tenang, nanti kita jawab juga di bagian akhir.

Reaksi berbeda-beda tersebut tentu saja tergantung pada siapa saja yang membacanya. Bila orang-orang apatis dan cuek terhadap apapun terjadi di sekelilingnya maka reaksinya hanya tersenyum geli.

Kelompok ini tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Mereka hanya peduli dengan urusan pragmatis terutama yang terkait dengan kebutuhan dasar.

Mereka hanya butuh biaya sekolah murah agar anak-anak mereka bisa mengenyam pendidikan.

Mereka cuma butuh harga BBM terjangkau agar mobilitas lancar untuk mengais rejeki.

Soal korupsi yang dilakukan oleh para elit penentu kebijakan tentulah bukan ranah mereka.

Nah, kalau pembaca tulisan di bokong truk itu kebetulan adalah pelaku korupsi, bisa jadi reaksinya malah tertawa karena baginya itu terasa lucu.

Bahkan tulisan itu akan jadi penyemangat mereka agar cara-cara korupsi yang selama ini mereka lakukan makin halus dan rapi.

Maklum saja, pemirsa, para koruptor ini hanya memikirkan cara atau metode mengeruk kekayaan untuk diri sendiri dan kelompoknya di setiap waktu dan kesempatan.

Itulah paradigma koruptor.

Bila yang membaca tulisan di bokong truk itu adalah orang-orang korban PHK akibat kebijakan koruptif maka mereka inilah yang sinis. Harapan mereka agar para koruptor di kantor, perusahaan atau pabrik yang menyebabkan mereka diputuskan hubungan kerja dapat segera ditangkap dan dihukum seberat-beratnya.

Kalau perlu dihukum mati atau setidaknya setengah mati.

Adapun yang marah saat membaca tulisan itu tentulah kaum agamawan, moralis dan para pegiat anti korupsi.

Perilaku korupsi para penyelenggara pemerintahan di berbagai sektor telah sangat mencemaskan. Acuan mereka jelas yakni skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang masih di peringkat 99 dari 180 negara di tahun 2024.

Indeks yang dirilis oleh Transparency International yang berdasar pada persepsi para ahli ekonomi dan pelaku bisnis mengenai maraknya praktek korupsi di berbagai sektor.

Data ini sangat memprihatikan dan memiriskan hati para pegiat anti korupsi.

Dan andai para pahlawan yang berdarah-darah di masa-masa awal republik ini terbentuk melihat tulisan di bokong truk itu maka pastilah mereka semua akan bersedih hati. Tak menyangka generasi pengganti mereka menjadi pelaku korupsi di berbagai bidang dan level.

Darah dan airmata mereka saat merebut kemerdekaan dari para penjajah terasa sia-sia belaka.

Suka atau tidak suka, disadari atau tidak, korupsi telah menjadi berita keseharian kita semua. Hampir setiap saat kita disuguhi berita korupsi sehingga kita tidak lagi terkaget-kaget bila mendengar ada kasus korupsi terungkap di media.

Tahun lalu kita mendengar tokoh A tertangkap tangan melakukan aktifitas korupsi. Bulan lalu tokoh B tertangkap kaki melakukan kegiatan korupsi.

Pekan lalu tokoh C tertangkap badan melaksanakan giat korupsi.

Hari ini ini tokoh D tertangkap leher melakukan korupsi.

Lalu bagaimana dengan besok, pekan, bulan dan tahun depan?

Lalu siapa lagi yang akan tertangkap korupsi? 

Akankah peristiwa tertangkapnya koruptor ini akan berhenti?

Yang membuat publik makin geleng-geleng kepala adalah bahwa mereka yang tertangkap itu dikenal sebagai sosok yang vokal menentang korupsi.

Ahhh, soal tertangkap korupsi itu kan soal naik arisan saja, begitu ungkapan bernada satire dari banyak orang.

Ungkapan bernada sinis ini ingin mengatakan bahwa semua tokoh pastilah ikut arisan dan hanya soal waktu saja kapan namanya naik ke permukaan sebagai pemenang arisan.

Kalau lagi apes maka undian arisannya akan menyembul naik dan jadi santapan pemberitaan publik. Kalau masih beruntung ya berarti bukan namanya yang muncul.

Bila ungkapan ini adalah gambaran di benak semua orang bahwa pejabat itu di berbagai posisi dan level pastilah melakukan korupsi maka sungguh gawat.

Ini berarti korupsi sudah dianggap budaya di mana setiap orang tak bisa lepas.

Namanya juga budaya tentulah melekat pada perikehidupan.

Bila anda disodori pertanyaan apakah setuju bila korupsi itu adalah budaya?

Tolong anda jawab, tidak.

Jawaban tidak dari anda tentulah menjadi penyemangat bagi para penggiat anti korupsi.

Kalaupun anda pernah dirugikan oleh perilaku korupsi para oknum di lembaga atau instansi atau organisasi tapi mohon untuk tetap menjawab tidak. 

Ini lagi-lagi agar para pegiat anti rasuah tidak pesimis saat ingin meruntuhkan anggapan bahwa korupsi itu adalah sesuatu yang telah kuat mengakar di negeri tercinta ini.

Kita dan semua pihak yang prihatin terhadap maraknya kasus korupsi bisa sedikit bernapas lega karena korupsi tetaplah dianggap kejahatan yang bisa disingkirkan dengan penanganan hukum yang tepat. Dan kejahatan pastilah bukan budaya.

Baiklah, untuk memudahkan atau malah mempersulit pemahaman tentang korupsi sebagai budaya, mari bertanya saja kepada tiga tokoh kita.

Ammar, Fadil dan Gelo.

Ketiganya dikenal sebagai sosok yang bersih.

Ammar rajin mencuci mobil jadulnya agar terlihat bersih dari debu.

Fadil telaten mencuci baju agar bersih dari noda.

Gelo selalu merawat kolam ikan peliharaannya agar bersih dari kotoran.

Pokoknya mereka semua tokoh yang bersih.

"Bung Ammar, setujukah anda korupsi itu adalah budaya?"

Sigap Ammar menjawab.

"Tidak setuju. Korupsi itu adalah kejahatan. Kita semua tentu tidak setuju bila kejahatan dianggap budaya. 

Kenapa? Karena budaya itu produk akal budi yang menjadi pembeda antara manusia dan hewan.

Semua bangsa tentu akan membanggakan budayanya karena itu produk turun menurun dari generasi ke generasi.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki budaya yang luhur.

Mustahil ada budaya yang melahirkan korupsi. Papar Ammar panjang kali lebar.

"Anda tahu, kata korupsi itu berasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik dan menyuap.

Kata corruptio atau corruptus ini kemudian disadur ke dalam bahasa inggris corruption dan corrups.

Secara harfiah, korupsi adalah kebusukan, kejelekan, keburukan, ketidak jujuran, tidak bermoral, penyimpangan, kebohongan.

Artinya bahwa para koruptor adalah pihak yang merusak sendi-sendi ekonomi bangsa.

Koruptorlah yang sesungguhnya membuat terhambat atau bahkan merusak pembangunan," tutur Ammar yang terlihat geram. 

"Masalahnya adalah bahwa kita juga tanpa sengaja seringkali ikut menyuburkan perilaku korupsi pada oknum aparat dengan cara menyogok agar urusan kita cepat kelar. Makanya penanaman sikap anti korupsi juga mestinya digalakkan di tengah masyarakat," sambung Ammar penuh semangat.

Luar biasa jawaban Ammar. Nampak betul bahwa ada begitu banyak warga yang begitu peduli dengan situasi korupsi yang ada di negeri tercinta ini.

Kita lanjut bertanya ke Fadil.

"Bung, setujukah anda kalau korupsi itu adalah budaya?"

Penuh antusiasme Fadil menjawab. "Kita kemudian harus sepakat dulu bahwa Korupsi itu yang mana perbuatan daripada sangatlah tercela. Korupsi kemudian adalah kejahatan yang sejatinya adalah kemudian sangat merugikan kemudian bangsa dan daripada negara yang sedang daripada kemudian membangun. 

Sehingga kemudian pada hakikatnya koruptor harus dihukum kemudian yang sangat mana berat.

Hukuman kemudian tidak boleh kemudian ringan bagi koruptor kemudian apalagi yang merampok uang rakyat kemudian yang mana dalam jumlah yang daripada kemudian sangat besar.

Kalau hukumannya kemudian ringan maka generasi muda malah kemudian terinspirasi untuk melakukan korupsi.

Sungguh kemudian enak menjadi kemudian daripada koruptor, mengumpulkan kemudian aset sekian banyak untuk kemudian bisa mengisi kemudian kehidupan masa depan karena hukumannya ringan.

Kemudian keluar dari penjara tetap kemudian yang mana sehingga bisa foya-foya

Kemudian daripada itu kemudian sehingga apabila kemudian kita daripada sesungguhnya kasus yang mana daripada yang mana korupsi kemudian itu bisa daripada yang mana kemudian," Ungkap Fadil yang menambah rusuh otak pembaca.

Sudah, sudah! 

Kita tutup saja jawaban Fadil yang membingungkan. Intinya Fadil mengatakan bahwa jangan sampai korupsi menjadi inspirasi generasi muda.

Sekarang kita alihkan pertanyaan ke Gelo.

Pak Gelo, apa pendapat anda tentang korupsi sebagai budaya?

"Korupsi itu ya letusan. Korupsi gunung berapi mengeluarkan lahar panas. 

Ini bahaya sekali karena bisa memakan korban. Warga yang berada sekitar rawan bencana harus segera dievaluasi ke tempat yang lebih aman. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah sebagai bentuk partisipasi bencana susulan dari korupsi gunung berapi," pubgkas Gelo.

Mendengar jawaban lugas dari Gelo ini yang singkat, padat dan tidak jelas tentu membuat kita semua : Lapar!"

Editor: Mawardi

Terpopuler

Terbaru

Menu Aksesibilitas
Ukuran Font
Default