PKUB Kemenag RI Bangun Ekosistem EWS Perkuat Kerukunan Nasional

Kontributor

SERPONG, KEMENAG SULSEL — Dalam upaya memperkuat pencegahan potensi konflik keagamaan di Indonesia, Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI menggelar kegiatan bertajuk “Membangun Ekosistem Early Warning System (EWS)” yang berlangsung selama tiga hari, 28–30 Juli 2025 di Hotel Vivere, Serpong, Tangerang, Banten.
Kegiatan ini dibuka oleh Kepala PKUB, Muhammad Adib Abdushomad mewakili Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI. Dalam sambutannya, Adib menegaskan pentingnya sistem deteksi dini yang berbasis data dalam menjaga kerukunan umat beragama.
“Kita tidak boleh hanya reaktif, tapi harus proaktif. EWS bukan hanya alat deteksi, tapi juga peta moral kebangsaan kita,” tegasnya.
Adapun tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk memperkuat sistem deteksi dini terhadap potensi konflik keagamaan di Indonesia. Pesertanya sebanyak 115 orang dari unsur Ketua Tim KUB provinsi, admin EWS, perwakilan Bimas Agama, serta pejabat fungsional dari unit strategis.
Kabid Harmonisasi Umat Beragama PKUB, Dr. H. Zainal Ilmi, dalam laporannya menyebut EWS sebagai langkah nyata Kemenag membangun sistem pencegahan konflik yang inklusif dan menjunjung keadilan sosial.
Ia juga menekankan bahwa EWS merupakan upaya nyata Kementerian Agama untuk membangun sistem pencegahan konflik yang responsif, kolaboratif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keadilan sosial.
"Kegiatan ini diharapkan dapat memperkuat koordinasi antara pusat dan daerah dalam pengelolaan isu-isu kerukunan, serta mendorong lahirnya standar kerja baru dan sistem pelaporan EWS yang lebih tajam dan profesional," ucapnya.
Terpisah, Ketua Tim Bina Lembaga dan KUB Kanwil Kemenag Sulsel, H. Mallingkai Ilyas, menyampaikan sejumlah harapan dari pelaksanaan kegiatan ini.
"Seluruh peserta diharapkan memiliki kesadaran dan tekad yang sama dalam menjaga kerukunan umat beragama secara aktif dan berkelanjutan," ucapnya.
“Untuk mewujudkan terwujudnya tata Kelola EWS yang efektif, diperlukan sistem kerja yang responsif dan terkoordinasi, mulai dari deteksi, verifikasi, hingga penanganan isu-isu kerukunan,” sambungnya.
Untuk terciptanya ekosistem digital yang inklusif dan responsif, lanjut Mallingkai, EWS diharapkan tidak hanya menjadi aplikasi teknis, tetapi juga platform kolaboratif antaragama, antarwilayah, dan antargenerasi.
“Peningkatan kapasitas teknis dan sensitivitas sosial para pengelola EWS menjadi kunci keberhasilan sistem ini,” ungkapnya.
Dalam pesannya, Mallingkai menekankan pentingnya menjadikan EWS sebagai alat membangun empati, dialog, dan rekonsiliasi sosial. Ia juga menyerukan pentingnya komunikasi aktif antarsatuan kerja dan penguatan nilai-nilai moderasi beragama.
“Jangan pernah lelah menjadi jembatan di tengah perbedaan. Jadilah penjaga harmoni, bukan sekadar pelapor konflik,” tandasnya.
Kegiatan ini menghasilkan sejumlah capaian, mulai dari terbentuknya tata kelola EWS, pedoman teknis lintas unit, hingga roadmap digital yang adaptif terhadap dinamika lokal.
Diketahui, EWS dikembangkan sebagai sistem digital terintegrasi lintas unit kerja di Kemenag, melibatkan Pembimas dari enam agama, Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), dan Biro HDI.
Selama tiga hari, peserta mengikuti pemaparan kebijakan EWS, simulasi teknis pelaporan, FGD, hingga penyusunan roadmap nasional penguatan sistem. (AB)