Ekoteologi Dan Kasih Sayang Dalam Perspektif Buddha: Relevansi Dengan Asta Protas Dan Asta Aksi

Kontributor

Oleh: Sumarjo, S.Ag, MM
Pembimas Buddha Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan
Ada empat hal yang banyak membantu itu? Empatmacam Roda (cakkā), yaitu: Berdiam ditempat yang sesuai; Bergaul dengan orang-orang baik; Meningkatkan pribadi sendiri; dan Memiliki timbunanjasa baik di masa lampau. Inilah empat hal yang banyakmembantu. (Dasuttara Sutta, Digha Nikaya 34)
Dalam ajaran Buddha, kasih sayang atau karuṇā menempati posisi yang sangat penting. Kasih sayang bukan hanya ditujukan kepada sesama manusia, melainkan juga kepada seluruh makhluk hidup dan alam semesta. Sikap inilah yang menjadikan Buddhisme selaras dengan semangat ekoteologi yakni sebuah pandangan spiritual yang menekankan hubungan erat antara manusia, alam, dan semesta.
Di dalam Dhamma, kita mengenal hukum paticcasamuppāda atau sebab akibat. Hukum ini mengingatkan bahwa segala sesuatu ada karena ada yang lain. Kerusakan alam tidak pernah berdiri sendiri; ia akan berdampak langsung pada kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, menjaga alam berarti menjaga kehidupan. Sebagaimana ditegaskan dalam Metta Sutta(Khudakka Patha. 9, Samyutta Nikāya. 1.8):
“Seperti seorang ibu yang mempertaruhkan hidupnya untuk melindungi anak tunggalnya, demikian pula terhadap semua makhluk hendaknya seseorang menumbuhkan cinta kasih tanpa batas di dalam hatinya.”
Dalam Samyutta Nikāya 47.19 – Sattaṭṭhāna Sutta, Buddha menekankan pentingnya perhatian penuh (sati) terhadap tubuh, perasaan, pikiran, dan fenomena. Kesadaran penuh ini juga dapat diperluas pada hubungan manusia dengan alam, sebab tanpa perhatian penuh, manusia mudah merusak lingkungan/alam.
Di dalam Anguttara Nikāya 4.262 – Arañña Sutta, Buddha bersabda:
“Dengan memiliki empat kualitas ini seorang bhikkhulayak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara. Apakah empat ini? (1) pikiran melepaskan keduniawian, (2) berniat baik, dan (3) tidak mencelakai; dan (4) ia bijaksana, tidak bodoh, dan tidak tumpul.
Pesan ini relevan dengan ekoteologi, sebab kerakusan manusia terhadap alam seringkali melahirkan kerusakan besar.
Kasih sayang yang menjadi akar etika Buddhis mendorong setiap umat untuk hidup harmonis, baik dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan. Melalui praktik sederhana seperti mettabhavana (pengembangan cinta kasih) atau tradisi fangshen (melepas satwa), umat Buddha diajak untuk menumbuhkan kepedulian pada keberlangsungan kehidupan. Dari sinilah lahir kesadaran bahwa melindungi lingkungan adalah bagian dari praktik spiritual.
Dalam Kitab Suci Dhammapada juga dinyatakan:
“Semua orang takut akan hukuman, semua orangmencintai kehidupan. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri, hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.” (Dhammapada; 129)
“Seseorang tidak dapat disebut Ariya (orang mulia) apabila masih menyiksa mahkluk hidup. Ia yang tidak lagi menyiksa mahkluk-mahkluk hiduplah yang dapat dikatakan mulia.” (Dhammapada; 270)
Nilai-nilai ini memiliki kaitan erat dengan arah kebijakan keagamaan di Indonesia. Asta Protas Menteri Agama yang menekankan moderasi beragama, transformasi digital, hingga revitalisasi organisasi keagamaan dapat diperkuat dengan semangat cintakasih dan kasih sayang Buddhis. Umat Buddha dapat berperan aktif menebarkan pesan damai dan kepedulian lingkungan melalui berbagai media, membangun komunitas vihara yang peduli pada isu ekologi, serta menghadirkan moderasi sebagai jalan tengah dalam perbedaan.
Di tingkat daerah, Asta Aksi Kemenag Sulsel juga sejalan dengan nilai-nilai Dhamma. Aksi Hijau mendorong gerakan menjaga alam, Aksi Harmoni menumbuhkan persaudaraan lintas iman, Aksi Moderasi menghidupkan jalan tengah dalam perbedaan, dan Aksi Pelayanan menumbuhkan pengabdian berbasis kasih sayang. Semuanya menjadi ruang aktualisasi cinta kasih dan kasih sayang Buddhis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada akhirnya, ekoteologi dan cinta kasih dalam perspektif Buddha bukan sekadar konsep, melainkan jalan hidup. Beliau menuntun kita untuk menyadari bahwa bumi adalah rumah bersama yang harus dijaga, dan umat manusia adalah satu keluarga besar yang harus dirangkul dengan kasih. Dengan semangat ini, Asta Protas dan Asta Aksi bukan hanya program pemerintah, tetapi juga wadah nyata bagi umat Buddha untuk mempraktikkan Dhamma demi kesejahteraan bersama.