Daerah

Electone Dan Pergeseran Nilai Sosial Dalam Pesta Pernikahan

Foto Kontributor
Onya Hatala

Kontributor

Jumat, 15 Agustus 2025
...

Oleh : Najamuddin, S.Pd.I

Penulis adalah Kepala Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sicini

Electone, yang pada mulanya sekadar alat musik elektronik untuk hiburan, kini di banyak daerah telah menjadi ikon kemeriahan pesta. Tidak lengkap rasanya sebuah pesta pernikahan atau hajatan tanpa denting electone yang mengiringi nyanyian biduan. Keberadaannya bukan lagi pilihan hiburan, melainkan semacam “syarat tak tertulis” demi menjaga gengsi keluarga penyelenggara pesta.

Fenomena menarik muncul ketika melihat perilaku solidaritas masyarakat untuk menghadirkan electone, keluarga dan teman mempelai atau orang tuanya sering kali rela mengumpulkan dana bersama demi terdengarnya suara electone di tengah-tengah pesta.

Namun, ironi terjadi ketika ada kebutuhan lain yang jauh lebih mendesak seperti uang panai’ yang jumlahnya besar mengalami kekurangan, jarang sekali ada gerakan solidaritas yang sama kuatnya untuk menutupi kekurangan mahar. Seakan-akan hiburan panggung lebih mendesak daripada kewajiban adat atau agama yang menjadi inti pernikahan.

Tidak dapat dipungkiri, electone kerap membuka peluang bagi perilaku yang jauh dari nilai-nilai sopan dan moral. Area panggung dan sekitarnya sering menjadi titik kumpul pemuda-pemudi yang berkenalan, bercengkerama, bahkan berduaan di lorong-lorong gelap di sekitar lokasi pertunjukan.

Situasi ini menciptakan celah terjadinya perilaku maksiat yang sulit diawasi, terutama di pesta yang berlangsung hingga larut malam. Dalam beberapa kasus, electone justru menjadi pemicu keributan. Penonton yang mabuk naik ke panggung tanpa kontrol, berjoget liar, bahkan melecehkan biduan di depan publik.

Situasi ini sering berakhir dengan adu mulut, perkelahian, atau pembubaran paksa oleh aparat keamanan. Hiburan yang seharusnya menghadirkan sukacita, berubah menjadi sumber masalah dan aib bagi penyelenggara yang tak jarang menjadi penyebab hadirnya dendam yang tersimpan hingga waktu yang lama.

Yang lebih memprihatinkan adalah adanya keterlibatan tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi panutan moral. Tidak sedikit pendidik dan pendakwah yang mengajarkan nilai kesopanan dan etika berpakaian, tetapi ketika menggelar acara keluarga, mereka juga menghadirkan electone lengkap dengan biduan berpakaian minim dan joget yang jauh dari nilai yang mereka serukan di mimbar.

 Anak-anak yang hadir berjoget di depan electone dengan penuh suka cita adalah anak-anak yang sama yang ketika di sekolah diajarkan dengan tegas tentang pentingnya etika dan menutup aurat.

Fenomena lain yang tak kalah mencolok adalah kebiasaan bapak-bapak atau suami memberikan sawer kepada biduan dengan cara yang tidak sopan, kadang sambil bersentuhan atau meletakkan uang secara provokatif.

Uang yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal bermanfaat justru dengan mudah dihamburkan demi sawer, sementara untuk kegiatan keagamaan seperti menyumbang masjid atau membantu madrasah, keluarga kerap merasa berat atau beralasan tidak mampu. Kontras ini semakin mempertegas pergeseran nilai yang sedang terjadi.

Electone bukan semata-mata instrumen musik; ia adalah cermin dari prioritas, nilai, dan dinamika sosial masyarakat. Solidaritas yang kuat untuk hiburan, tetapi lemah untuk kewajiban adat dan agama, menunjukkan adanya pergeseran orientasi budaya.

Hiburan yang mengabaikan norma juga membuka pintu bagi kerusakan moral dan keamanan. Menghadirkan hiburan yang sehat dan terkendali bukan berarti mematikan keceriaan pesta, tetapi menjaga agar kegembiraan tidak dibayar dengan kerugian moral dan sosial.

Tugas ini memerlukan kesadaran kolektif terutama dari para tokoh masyarakat untuk mengarahkan budaya hiburan ke arah yang lebih bermartabat agar tidak merusak tatanan sosial budaya ketimuran yang bisa menggeser tatanan budaya menjadi lebih jauh dari nilai-nilai moral dan religius bagi generasi penerus.

Editor: Andi Baly

Terpopuler

Terbaru

Menu Aksesibilitas
Ukuran Font
Default