Penguatan Moderasi Beragama, Kemenag Tana Toraja Laksanakan Pembinaan EWS Dan KSBK

Kontributor

Makale, (Kemenag Tator) — Dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi potensi konflik sosial yang berdimensi keagamaan, Seksi Bimas Islam Kementerian Agama Kabupaten Tana Toraja melaksanakan kegiatan Pembinaan Early Warning System (EWS) dan Potensi Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan (KSBK), Selasa (5/8/2025).
Kegiatan yang berlangsung di Aula Kementerian Agama Tana Toraja, ini diikuti oleh 25 peserta yang terdiri dari Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), penghulu, dan penyuluh agama dari seluruh wilayah Tana Toraja.
Pelaksanaan pembinaan ini berlandaskan pada tiga kebijakan utama, yaitu:
-
Asta Cita Presiden Republik Indonesia terkait penguatan toleransi dan kerukunan umat beragama,
-
Asta Protas Kementerian Agama yang menekankan peningkatan kerukunan dan cinta kemanusiaan, serta
-
Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 332 Tahun 2023 dan KMA Nomor 924 Tahun 2024 sebagai dasar operasional pelaksanaan EWS KSBK.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tana Toraja, H. Usman Senong, secara resmi membuka kegiatan ini. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa EWS merupakan instrumen penting untuk mendeteksi sedini mungkin potensi konflik keagamaan di masyarakat, baik yang terjadi secara internal dalam satu umat beragama maupun antarumat beragama.
“Para peserta diharapkan mampu mendeteksi secara cepat potensi konflik, mengantisipasinya secara proaktif, serta membaca gejala-gejala sosial di sekitar wilayah masing-masing sehingga konflik dapat dicegah sejak dini,” ungkapnya.
Lebih dari sekadar menerima materi, para peserta juga diajak untuk berbagi pengalaman lapangan. Para penyuluh dan kepala KUA menceritakan berbagai tantangan yang mereka hadapi dalam menjaga toleransi, membangun dialog antarumat, serta memperkuat harmoni sosial di tengah kondisi masyarakat yang terkadang rentan terhadap gesekan.
Dalam kegiatan ini, EWS dipahami bukan hanya sebagai sistem atau alat teknis, melainkan sebagai pendekatan kultural dan spiritual. Yakni, cara membaca tanda-tanda zaman, mengenali potensi keretakan sosial secara dini, dan menyikapinya dengan kearifan lokal serta prinsip agama yang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia.
Kepala Seksi Bimas Islam H. Arifuddin menegaskan bahwa membangun Indonesia yang damai tidak bisa menunggu konflik terjadi. Perdamaian harus dijaga dari hulu, dimulai dari pola pikir yang terbuka, sikap yang menyejukkan, serta kehadiran penyuluh agama sebagai penjaga nalar dan nurani publik.
Dalam konteks Tana Toraja yang dikenal dengan keragaman budaya dan tradisi, kegiatan ini dinilai sangat relevan. Dialog antarumat beragama bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan. Menjaga keberagaman bukan hanya soal niat baik, tetapi juga sistematis, melalui aksi nyata dan komitmen yang terus-menerus.
“Dari Tana Toraja kita belajar bahwa menjaga kerukunan adalah tugas lintas generasi. Jika konflik ibarat bara, maka moderasi beragama adalah air yang memadamkannya. Para penyuluh agama adalah penjaga bara itu—mereka hadir dengan diam, tetapi berdampak besar.”