Rembuk Hukum APRI Bone Bahas Dilema Pernikahan Anak Di Lapangan
Kontributor
Watampone, (Kemenag Bone) - Fenomena pernikahan anak masih menjadi isu yang memunculkan dilema bagi para penghulu di lapangan. Antara keharusan memberikan pelayanan kepada masyarakat dan kewajiban menegakkan aturan hukum, para penghulu kerap berada di posisi yang serba salah.
Kondisi tersebut menjadi fokus pembahasan dalam Rembuk Hukum bertema “Dilema Hukum Pernikahan Anak” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Kabupaten Bone, Selasa (28/10/2025) di ruang rapat kafe Bunir Watampone.
Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Kepala Kantor Kemenag Bone, H. Abdul Rafik, dan dihadiri oleh Kasubbag TU H. Ahmad Yani, Ketua APRI Bone, serta Ketua Pengadilan Negeri Bone, H. Nurlina, K, bersama para penghulu dari berbagai kecamatan di Kabupaten Bone.
Dalam laporannya, Ketua APRI Bone menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk refleksi dan tindak lanjut atas berbagai persoalan hukum yang dihadapi para penghulu, termasuk kasus yang menimpa salah satu penyuluh di daerah lain. “Kegiatan ini kami laksanakan karena sudah ada teman penyuluh kita di Kabupaten Soppeng yang dipolisikan akibat mencatatkan pernikahan di bawah umur, meskipun telah ada dispensasi pengadilan. Artinya, bisa jadi Undang-Undang Perkawinan belum tersosialisasikan dengan baik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ketua APRI Bone menambahkan bahwa persoalan pernikahan usia dini, terutama yang terjadi karena kondisi sosial seperti kehamilan di luar nikah, sering kali menjadi tantangan tersendiri bagi para penghulu di lapangan. Di satu sisi, penghulu ingin membantu masyarakat menyelesaikan persoalan dengan cara yang baik; namun di sisi lain, mereka harus memastikan seluruh proses berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Melalui rembuk hukum ini, APRI Bone mendorong para penghulu untuk lebih memahami peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pencatatan pernikahan, di antaranya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Rembuk hukum ini diharapkan dapat melahirkan panduan praktis yang menyeimbangkan antara penerapan hukum yang ketat dengan nilai-nilai kemanusiaan, memastikan setiap proses pencatatan nikah berjalan sesuai koridor hukum, dan sekaligus meminimalisir risiko pelanggaran administratif maupun konsekuensi hukum yang tidak diinginkan bagi para penghulu. (Ira/Ahdi)