Setitik Terang Di Ujung Kampung, Sebuah Kisah Pendidikan Dari Sicini, Gowa

Kontributor

Oleh : Najamuddin, S.Pd.I
Penulis adalah Kepala Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sicini
Pada tahun 1967 Sicini adalah sebuah kampung kecil dalam wilayah Desa Parigi Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa. Warganya yang kebanyakan masih buta huruf, menggantungkan hidupnya dari bertani dan beternak.
Dengan letak geografis yang sangat terpencil, Sicini nyaris terputus dari dunia luar. Satu-satunya akses menuju jalan poros Malino yang menghubungkan dengan Sungguminasa adalah dengan berjalan kaki puluhan kilometer menyusuri jalan setapak yang terjal dan berliku.
Tak hanya itu, sebelum sampai ke poros Malino harus menyeberangi sungai je'ne'berang dengan menaiki alat yang dalam bahasa makassar disebut "palancuru". Dalam kondisi tertentu, harus menyebari sungai dengan berjalan kaki menantang arus deras yang terkadang harus menunggu berjam-jam baru bisa menyeberang.
Dengan kondisi yang serba sulit, tidak mengherankan jika warga kampung Sicini tertinggal hampir dalam segala hal. Pendidikan, ekonomi, budaya dan agama. Jangankan memiliki rumah yang mewah, sekedar layak huni saja, tidak semua keluarga memiliki.
Cara bercocok tanam tradisional yang belum mengenal pupuk dan pestisida membuat hasil panen sangat sedikit dan sering gagal panen. Kondisi ini tentu berdampak buruk pada terpenuhinya kebutuhan pangan. Hasil panen yang sedikit, masih harus dibagi lagi untuk keperluan sesajen pesta panen, ke tempat keramat dan tradisi leluhur yang jauh dari syariat agama.
Jika zaman sebelum kedatangan Nabi Muhammad di tanah Arab disebut zaman jahiliah, kondisi kampung Sicini pada tahun 1967 bisa disebut zaman kegelapan. Bukan hanya mentari lambat menyapa dipagi hari karena rimbunnya pepohonan dan cahaya mentari terhalang kemegahan gunung Bawakaraeng. Kondisinya jauh lebih parah daripada itu.
Fanatik buta pada peninggalan leluhur telah menutup hati dari terangnya cahaya iman.Islam baru sebatas status yang belum dianut dengan tulus. Lantunan ayat suci Al-Qur'an belum mampu terdengar sayu diantara suara kecapi dan musik Sinrili'. Tinta-tinta kecerdasan belum mampu menyeberangi derasnya aliran sungai Kunisi' dan sungai Je'ne'berang.
Dalam kegelapan yang kian pekat, hadir sosok yang visioner, berwibawa dan karismatik membawa pena penerang dengan tinta kecerdasan. MI Muhammadiyah Sicini, sekolah yang didirikannya di tengah sawah. Berdiri dengan tiang dan dinding bambu yang menjadi sejarah awal hadirnya pendidikan formal di Sicini.
Sosok karismatik itu bernama Rampeang Daeng Sewang yang kemudian hari lebih akrab dengan panggilan Haji Sewang. Dari tangan dinginnya lahir generasi yang perlahan mengikis kegelapan dengan cahaya ilmu dan iman.
Kehadiran MI Muhammadiyah Sicini bukan hanya mencerdaskan dan memberantas praktik syirik, tapi juga menjaga akidah ummat yang pada waktu itu sebagian besar sudah menjadi domba gembala di bawah iman trinitas.
Dari gubuk bambu di tengah sawah, pembelajaran berpindah ke kolong rumah. Perjalanan jauh ke sekolah kolong rumah tak menyurutkan semangat peserta didik untuk datang belajar disela tuntutan hidup untuk membantu orangtuanya bertani dan menggembala ternak.
Memasuki tahun 70an, sekolah kembali berpindah. Sedikit lebih bagenerasi sebelumnya, kali ini sekolah berdiri di atas tanah wakaf di ujung timur kampung. Meski masih berbahan material kayu, bangunan berdiri anggun di dekat perempatan jalan. Bangunan baru ini seakan menjadi penanda awal peradaban yang maju dimulai dari tempat ini.
Puluhan tahun berdiri dalam binaan Haji Rampeang Daeng Sewang, MI Muhammadiyah Sicini telah melahirkan puluhan alumni yang menjadi pelita terang yang menerangi kegelapan hidup dalam keluarganya masing-masing.
Seluruh sisa hidupnya diabdikan untuk memajukan pendidikan di Sicini terhusus MI Muhammadiyah Sicini. Bahkan cahaya pena iman dan kecerdasan masih bersinar terang dari tangannya setelah masa pensiunnya.
Kini jasadnya terbaring damai dalam pelukan bumi, jiwanya tenang dalam keindahan masa penantian. Namun, semangat juangnya masih hidup abadi dalam hati generasi penerus yang pernah ia didik dengan keras dan penuh kedisiplinan.
Sisa - sisa cahaya kecerdasan yang pernah membara dalam dirinya masih sempat menerangi hati seorang murid bodoh bernama Najamuddin sebelum cahaya itu padam bersama kepergiannya. Sisa cahaya kecil itulah yang kini tetap digenggam sang murid untuk meneruskan perjuangan pengabdian sebagai Kepala Madrasah MI Muhammadiyah Sicini.
Meski dengan cahaya redup yang jauh untuk menyamai terang cahaya ilmu Rampeang Daeng Sewang, Najamuddin terus bergerak maju dengan semangat dakwah untuk semakin mendekatkan warga kampung dengan cahaya iman.
Harapan terbesarnya, gambaran kemajuan peradaban dalam perempatan jalan bisa terwujud dari tangan terampil penuh iman alumni MI Muhammadiyah Sicini yang tersebar di atas bumi Allah sampai ke mancanegara.